Paging

Senin, 26 Januari 2015

Aku Menunggumu di Al-akbar

Malam ini dingin menyapa lagi namun hari ini ia tak sendiri, ia menggandeng hujan-hujan kecil dan mengajaknya bermain melompat lompat di atas perut bumi. Mata dan telingaku masih menikmati panorama itu, suasana yang tak kudapati di hari-hari lelahku seminggu ini.

Ku tatap megahnya kubah Masjid Al Akbar yang terlihat jelas dari jendela kamarku. Terbayang di anganku atas sebuah janji yang pernah ku ukir . Bersamanya, di taman Al Akbar.

“Ran, aku jadi pergi besok.”

“Mas benar-benar akan ke Jakarta? Hmmh, kenapa harus jauh sekali?”

“Iya, memang jauh. Aku gak enak nolak tawaran pekerjaan itu. Apalagi aku memang sedang sangat membutuhkannya.”

“Ya, kalau itu memang udah jadi pilihan Mas Fahmi, jalani aja. Ran pasti akan selalu doakan di sini.”

“Makasih ya Ran. Nanti kalau Mas sudah sukses, Mas mau kasih hadiah buat Ran.”

“Hem? Hadiah? Kenapa gak sekarang aja? kenapa harus tunggu sukses dulu? Emang hadiahnya mahal?” tanyaku penasaran.

Kemudian matanya menerawang ke arah masjid

“Iya, bahkan.. tak ternilai harganya?”

“Apa?”

Dia kembali memandangku sambil tersenyum.

“Biar Al Akbar yang menjadi saksinya nanti dalam sebuah pertemuan suci antara dua insan.”

Aku tersenyum malu. Jantungku berdegup cepat, wajahku memerah.

“InsyaAllah. Semoga Allah memberi jalan terindah buat kita. Aku akan menunggumu di Masjid Al Akbar.”

Satu tahun…

Dua tahun…

Ah, tak terasa sudah hampir empat tahun berlalu…

Selama itu, hanya dunia maya penghubung antara kami.

Sudah tiga tahun terakhir ia jarang pulang ke Surabaya. Bahkan di hari lebaran, ia hanya tinggal paling lama dua hari saja. Terakhir ia pulang, karena ibundanya yang tiba-tiba jatuh sakit. Ia menelponku dan minta maaf padaku sebab tak sempat menemuiku karena ia harus buru-buru kembali ke Jakarta.

Tapi… makin lama… aku makin merasa kehilangan dirinya. Sudah satu bulan terakhir ini aku sama sekali tak berinteraksi dengannya. Handphone- sering tidak aktif, e-mailku tak dibalas. Aku tidak mengerti. Apa yang membuatnya seperti itu. Ia tak pernah seperti ini sebelumnya. Ia selalu terdengar ceria tiap kali menelponku, atau tiap kali aku menelponnya. Sama sekali tidak ada tanda-tanda dia marah padaku atau sedang ada masalah. Apa jangan-jangan.. Tidak.. tidak.. Aku harus tetap positif thinking. Mungkin akhir-akhir ini dia terlalu sibuk.

Ku buka laptopku yang sedari tadi tertutup manis mengintaiku dari kejauhan. Aku cek lagi e-mailku mungkin untuk yang ke sepuluh kalinya hari ini, berharap ada suatu keajaiban.

“Subhanallah!!!” mataku terbelalak hampir saja aku melompat kegirangan. Ku lihat ada namanya di daftar inboxku. Ya Allah, akhirnya..

“Assalamu’alaikum wr.wb.
Kirana.. Mas minta maaf karena baru bisa balas e-mail kamu. Mas juga minta maaf karena tidak pernah menghubungi Ran lagi. Alhamdulillah, keadaan Mas baik-baik aja. Ran, besok pagi Mas mau ketemu sama kamu. Ada yang mau Mas katakan. Bisa kan? di Taman Flora dekat kampusmu, jamnya kamu yang tentukan aja. Mas tunggu balasannya.

wassalamu’alaikum”

Jantungku berdebar debar, apa kiranya yang ingin Mas Fahmi sampaikan? berbagai prasangka berkecamuk dalam dada.


“wa’alaikumsalam. Iya Mas, gak apa apa. Ran ngerti kalau mas sibuk sekali. Alhamdulillah, keadaan Mas Fahmi baik-baik aja. Ran sempat khawatir terjadi apa apa sama Mas Fahmi. Ya udah, besok kita ketemu jam 10 ya.”



Mas Fahmi terdiam menatapku, agak lama. Terlihat ada mendung yang menutupi matanya yang teduh.

“Ada apa Mas? Katanya ada yang mau disampaikan sama Ran?” Akhirnya aku pun memulai pembicaraan.

“Ehmm… Iya Ran.. Sebelumnya, Mas mnta maaf. Mas mau Ran dengerin Mas cerita sampai selesai ya. Setelah itu terserah apa yang mau Ran lakukan ke mas Fahmi.”

“Silahkan, Ran dengerin kok.”

“Ibu Mas.. tiap kali Mas pulang selalu menyuruh Mas untuk cepat menikah agar Ibu bisa melihat Mas di pelaminan.”

Deg! Sejenak jantungku serasa berhenti berdetak.

“Mas sudah berencana untuk segera mengenalkan Ran pada Ibu.”

Swiinggg!! Rasanya ribuan bunga mekar seketika di dalam hatiku.

“Eeh, lalu?” Aku mulai tidak sabar.

“Tapi…”

“Tapi…?”

Mas Fahmi terdiam lagi. kali ini agak lama dari sebelumnya. Ia menundukkan sejenak. Lalu menatapku lagi dengan pandangan yang lebih sendu dari sebelumnya.

“T..tter.. ternyata… Ibu telah menjodohkan Mas dan ingin sekali Mas menikah dengan gadis pilihan Ibu.” Katanya lirih dan terbata-bata.

Jantungku benar-benar berhenti sekarang! Nafasku mulai tak teratur, ribuan bunga yang tadinya mekar semerbak bagaikan dijatuhi bom atom hingga luluh lantah tak bersisa.

“Mas ingin sekali menolaknya jika saja Mas bisa. Mas sudah berusaha menjelaskan pada Ibu, kalau Mas sudah punya pilihan lain bahkan Mas sempat bersitegang dengan Ibu. Tapi Ibu tetap tidak mau tahu. Ibu malah sedih dan akhirnya jatuh sakit sampai-sampai terkena stroke. Ibu terbaring lemah di rumah sakit, bahkan menolak untuk bertemu dengan Mas. Ibu tidak punya semangat hidup lagi karena anak satu-satunya tidak mau mewujudkan keinginannya. Mas tidak tega Ran. Akhirnya, seminggu yang lalu Mas telah bertunangan dengan gadis itu.”

Aku terkejut! Aku tak bisa lagi membendung air mataku yang mulai meluap dan tumpah.

“Kke.. Kenapa Mas baru cerita sama Ran?” aku mulai terisak.

“Mas tidak tega Ran. Mas gak bisa melihat kamu sedih dan menangis seperti ini. Mas takut melukai perasaan kamu. Mas bingung harus bagaimana menyampaikan semua ini.”

Aku berusaha membendung air mataku walau tak berhasil.

“Sss.. Sudahlah Mas.. Aku….”

“Maafin Mas ya Ran.”

Aku tidak bisa berkata lebih banyak lagi, semakin aku melihatnya semakin aku ingin menjerit. Ulu hatiku bagai tertusuk tusuk pedang tajam. Sakit! Aku segera berdiri dari tempat dudukku.

“Ran mau kemana?”

“Ran mau pulang Mas. Wassalamu’alaikum.”

“Kirana…”

Cukup sudah! Aku ingin segera pergi. Aku tak mau memperdulikan suaranya lagi.

Sudah dua hari ini hatiku nelangsa. Hancur sudah semua harapan bahagiaku. Cuma dia laki-laki yang aku cintai dan aku impikan tuk jadi imamku. Selama dalam masa penantianku. Menanti janji manisnya untuk kami wujudkan berdua. Tapi apa balasan atas kesetiaanku? Kenapa harus berakhir seperti ini Ya Allah.. Apa salah hamba? Salahkah semua kesetiaan ini? Salahkah hamba mencintainya? salahkah hamba mengharapkannya? Salahkah hamba menginginkan ia tuk jadi pendamping hamba di kemudian hari?

Hidupku bagai tak berharga lagi, kemanapun aku pergi bayangan tentangnya selalu mengikuti. Tak

Ku lihat tanggal di kalenderku, tak lama lagi adalah hari wisuda. Ku kira hari itu kan jadi hari bahagiaku karena ia pasti kan hadir dan memberiku selamat, lalu akan ku kenalkan pada kedua orangtuaku sebagai calon pendamping hidupku. Namun itu semua tinggallah mimpi yang kini telah musnah jadi asap.

Mama memelukku dengan erat, ku ceritakan semuanya. Mama meyakinkan aku bahwa Allah telah mempersiapkan seseorang yang seribu kali lebih baik dari Mas Fahmi untukku.

“Kamu jangan kehilangan semangat seperti ini Nak.” Lanjut mama. “Allah selalu punya rencana istimewa buat hamba-hambaNya yang istimewa, dan Kamulah salah satunya. Percaya sama Allah, Sayang. Allah akan memberikan yang terbaik buat Kamu. Mungkin ini ujian dari Allah, dan jangan lupa jika Allah menguji seorang hambaNya berarti Allah sayang sama dia karena Allah ingin ia jadi lebih mulia. Kamu yang sabar ya, yang ikhlas.”

Ya Allah, mama benar. Aku harus bisa melanjutkan hidupku. Aku pun mulai tenang dalam belaian hangat mama.

Akhirnya setahun sudah waktu berlalu. semakin ku menapaki hari, semakin ku tahu bahwa tak sepantasnya ku menyesali apa yang terjadi. Walaupun sampai saat ini, aku masih belum bisa sepenuhnya melupakan Mas Fahmi. Sulit memang melupakan orang yang sangat kita cintai. Tapi aku percaya, sesuatu yang sulit bukan berarti tak bisa untuk dilakukan. Aku pasti bisa.

Papa mengenalkanku dengan anak dari sahabat baiknya waktu sekolah dulu. Alfath namanya. Usianya empat tahun lebih tua dariku, yah… sepantaran dengan Mas Fahmi. Dia pemuda yang baik dan santun, dan insyaAllah punya pemahaman agama yang lumayan baik. Saat ia datang melamarku, tak ada alasan bagiku untuk menolaknya.

“Dik Kirana, ingin akad nikah kita nanti dilaksanakan dimana?” tanya Mas Alfath saat rapat keluarga untuk mempersiapkan hari pernikahan kami.

“Di Masjid Al Akbar.” jawabku sambil tersenyum.


Cahaya mentari pagi memotretku dari kejauhan, mencuri pandang senyum manisku, menyambut hari bahagiaku. Sinar hangatnya memelukku, memudarkan segala kenangan kelabu di masa lalu. Ku pandangi diriku di cermin berbalut gamis pengantin berwarna putih bersih lengkap dengan kerudung cantik membingkai wajahku, ada rasa bangga menggeliat dalam hati.

Aku dan keluargaku berangkat menuju Masjid Al Akbar. Disana, kami disambut para kerabat yang telah menunggu. Semua mata tertuju padaku. Aku duduk bersanding dengan Mas Alfath yang terlihat begitu gagah dengan jas pengantin berwarna putih.

Semua undangan sepertinya telah datang, tetapi aku masih belum nampak seseorang yang ku nantikan kehadirannya.

Aku memandang Mas Alfath, sepintas melintas di benakku wajah Mas Fahmi. Teringat akan sebuah janji yang dulu pernah terucap. Tapi segera kubuang jauh-jauh bayangan itu. Aku tak boleh mengingat hal itu lagi. Tapi… Aku masih menunggu Mas Fahmi. Ya, Aku menunggumu di masjid Al Akbar seperti janji kita dulu. Aku menunggumu untuk sebuah pertemuan suci antara dua insan. Seperti katamu dulu. Meski bukan denganmu kini ku bersanding. Meski bukan denganmu ku wujudkan impianku mengarungi bahtera kehidupan, tapi pada kenyataannya janji kita tetap terwujud indah pada waktunya, pada takdirnya masing-masing. Sekarang Mas Alfath adalah masa depanku. kepadanya ku akan mengabdikan diri sebagai seorang istri sholehah. Kepadanya kan ku semaikan kesetiaan cinta karena Allah yang tak kan pudar.

Tak lama kemudian, sesosok wajah yang ku nantikan hadir bersama seorang wanita cantik yang memeluk dengan penuh kasih sayang seorang bayi mungil di gendongannya. Mas Fahmi. Aku tersenyum, dia pun tersenyum. Nampak ada raut kebanggaan di wajahnya yang seolah berkata.

“Semoga kamu bahagia selamanya.”



source: facebook/nuhijab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar