Paging

Jumat, 31 Juli 2015

Sepotong Senja


Terperangkap sedih pada sepasang mata hitam yang telah uzur. Langit jingga keemasan itu pingsan seketika di balik rerimbun pepohonan kopi. Membuat hati si lelaki tua semakin tercabik sepi, menerobos rindu yang meradang, pada kisah dua cangkir kopi hitam kental dengan senja pukul lima sore. Duduk bersila di dalam gazebo, menatap lamat-lamat sang matahari, hingga dia menghilang ditelan bumi Dampit.
 
Dialah Ayahku, sang juragan kebun kopi di kota kami. Enampuluh lima tahun usianya. Namun garis-garis kelelakian yang tergurat pada binar tubuhnya masih kuat. Tidak renta dan rapuh seperti kebanyakan. Dia hidup dalam tempaan kelam, hingga datang sebuah cahaya hangat, menariknya bangkit untuk berjuang pada hidup.
Kuaduk perlahan dua cangkir kopi hitam yang mengepul. Tigapuluh adukan. Tidak akan lebih ataupun kurang. Sebentar senyumku terkembang, memandang sebuah gazebo tua di belakang rumah. Lelaki tua kesayanganku sudah duduk di sana menanti anak gadisnya, membawa nampan dan menghidangkan cangkir-cangkir kopi ini di sampingnya.

Ah, sudahlah. Ayah telah menungguku. Tak pantas jika kubuat dia semakin tenggelam dalam sepi.

“Menunggu lama ya, Yah? Maaf, Ranti keasyikan melamun tadi.” Kulempar senyum padanya, lalu segera duduk di samping kiri.

Ayah melingkarkan tangan pada pundakku, menepuknya pelan penuh kasih. Dan dengan keheningan sore, kami terdiam sepersekian waktu, untuk menikmati langit yang mulai menarikan tarian keemasan.

“Tak terasa ya sudah limabelas tahun berlalu, dan keindahan senja tidak pernah berubah sedikitpun. Kenangan akan Bunda pun masih segar di pikiran Ayah,” suara Ayah memecah sepi.

Aku hanya terdiam sendu. Tidak bisa mengerti bagaimana arti sebuah kenangan itu. Bukan karena apa, tetapi saat Bunda meninggal, aku baru berumur tiga tahun. Memori otak sudah memudar tergerus waktu. Tidak ingat bagaimana dahulu kulalui hari bersama Bunda.

Yang membuat hatiku tersentuh haru hanya sebuah keteguhan yang masih dijamah oleh Ayah. Cintanya kepada sang istri masih begitu kuat. Tidak menguap sedikitpun. Masih berbinar cerah. Masih mengharum semerbak. Dan masih seindah warna senja di perkebunan kopi.

“Bundamu itu seorang malaikat berupa manusia. Jika bukan karena dirinya, tidak mungkin Ayah yang dulu sebuah sampah di jalanan, bisa seperti ini,” Ayah menghentikan kalimatnya sebentar untuk menghela nafas. Lalu melanjut dengan berbisik, “dia itu berlian, dan Ayah yang membuat kilaunya meredup karena cinta.”

Mata Ayah mulai berkaca-kaca. Selalu saja seperti itu, setiap kali sebuah penyesalan menggelitik ingatannya.

Cerita tentang Bunda sudah sering kudengar, setiap hari, sama seperti saat ini. Hingga bayang-bayang mereka berdua melekat begitu erat pada imajiku.

“Ayah itu miskin, hidup terlunta di jalanan. Kerjanya ngamen, mabuk, nyopet dan dikejar-kejar orang. Lalu datanglah dia, gadis berkerudung yang menjadi salah satu relawan dari sebuah lembaga sosial, mengajar anak-anak jalanan yang putus sekolah di kampung Banar. Sungguh sejuk hati ayah saat melihat sosoknya. Anggun, berwibawa, selalu tersenyum dan tidak jijik pada kami.”

Ayah mengangkat lengannya, bangga memamerkan tato-tato tua yang terukir dari ujung hingga pangkal. “Nih, lihatkan tato Ayah. Semua takut pada ini, wong Ayah ini ketua geng di sana. Tetapi, gadis itu tidak. Dia malah semakin mendekat. Dengan kegigihannya, mengajak Ayah sholat. Cih, waktu itu aku sering marah sama dia, Ranti. Tapi, dimarahi model bagaimanapun, dia bergeming. Tidak menyerah sedikitpun.”

“Ayah..” Aku tersenyum melihat binar wajah Ayah bersemu merah. Dia selalu tampak bahagia setiap kali jatuh pada bagian alur kisahnya yang ini.

“Suatu hari, kulamar gadis itu. Ayah benar-benar jatuh cinta, sudah mantap di hati. Dia bersedia, tetapi dengan syarat, Ayah harus mau belajar sholat dan mengaji. Wah, kala itu, aku ditertawakan rekan-rekan sesama preman. Malu sebenarnya, tetapi cinta sudah membuka hati perlahan-lahan. Hari-hari Ayah penuh rasa bahagia bersama gadis berkerudung tercinta. Tetapi,” Ayah berhenti berkata. Binar cerahnya mulai redup kembali.

“Keluarganya menentang anak gadis itu menikah dengan seorang preman. Kami berdua sempat dirundung sedih berkepanjangan. Semuanya kembali suram. Hingga suatu hari, dengan keberanian yang berpendar-pendar, kuajak dia kawin lari. Tetapi gadis itu menolak. Dia berkata, restu orangtua adalah surga baginya. Karena restu mereka adalah sebuah doa, yang akan menguatkan kita menapaki sebuah pernikahan. Ah Ranti, mendengar itu Ayah semakin jatuh cinta kepadanya.”

“Bunda wanita yang hebat ya, Yah. Ranti iri, ingin bisa kelak menjadi istri solehah seperti Bunda.”

“Bundamu itu gak ada duanya di dunia ini,” Ayah terkekeh senang, “bahkan dalam kesedihan, dia tetap kukuh berusaha meyakinkan kepada kedua orangtuanya bahwa Ayah benar-benar telah berubah. Dan Ayah buktikan itu, Ranti. Pelan-pelan kami lakukan pendekatan, pun juga dengan doa-doa kepada Allah. Meminta agar pintu hati mereka dibuka.”

Ayah manggut-manggut sekali lagi sambil tersenyum. Bahkan aku hampir berpikir bahwa dia telah gila karena kenangannya sendiri. Tetapi bukan, Ayah hanya sangat mencintai Bunda, itu saja.

“Setelah berbulan-bulan berjuang, akhirnya restu itu kami dapat lalu segera menikah. Sederhana sekali, hanya berbalut kebaya putih tua milik Ibu Mertua, dan jas lusuh pinjaman dari kerabat Ayah. Namun, acaranya sakral sekali, kami semua pada menangis karena terharu.”

“Saat itu Ayah dan Bunda pasti sangat bahagia bukan? Aku bisa membayangkannya.” Kataku sambil tersenyum.

“Pastilah itu sayang. Nah, setelah menikah itulah kami pindah ke bumi Dampit ini. Membangun sebuah gubuk sederhana, dan bekerja seadanya di ladang kopi. Semua yang kami lalui tidak mudah, banyak cobaan yang menghancurkan hampir semua pertahanan dan keyakinan cinta kami. Tetapi dia itu wanita tangguh. Kesabarannya menghadapi Ayah sungguh menakjubkan.”

Cerita Ayah makin mengalir. Cangkir kopi yang terdiam sedari tadi direguklah isinya, untuk menuntaskan dahaga. Sebentar kemudian, kembali bergulat pada kenangan.

“Dari dirinya, Ayah banyak belajar tentang arti sebuah kehidupan. Bahwa setiap jengkal nafas yang kita hembuskan, ada pertanggungjawabannya kepada Sang Maha Kuasa. Bahwa hidup adalah suatu perjuangan, tidak boleh menyerah, tidak boleh mengeluh. Hingga akhirnya semua ini kami dapatkan. Inilah bukti cinta kami, Ranti. Kehadiranmu juga, begitu menambah kebahagiaan.”

Kuraih tangan Ayah yang kasar dan berbau ketangguhan seorang pejuang hidup di masa mudanya itu.

“Jika saja Ayah mengetahui sejak awal tentang penyakit Ibumu,” Ayah menitikkan bulir air dari ujung mata. Hati tuanya mulai bergetar. Perih. Mengingat sebuah perjuangan antara hidup dan mati sang istri.

Bagaimana tidak. Wanita yang telah menariknya dari lubang hitam itu, terus menyimpan lukanya sendiri. Bertahan demi mendukung perjuangan sang suami untuk memperbaiki hidupnya. Saat sakit, senyumnya tetap terkembang. Pelukannya tetap menghangatkan. Jiwanya yang terang benderang selalu berhasil membuat semangat suaminya berapi-api. Begitulah kisah Ayah tentang keteguhan hati Bunda.

Bunda begitu sempurna. Tidak akan ada wanita yang bisa setangguh pengorbanan Bunda. Pun sekuat imannya. Dan juga sesabar dirinya dalam menghadapi setiap hantaman kepedihan. Entah pada saat Ayah jatuh dan menyerah. Ataupun pada saat Ayah marah dan mengumpat pada Tuhan.

“Ayah, tidak benar jika ayah membuat binar Bunda yang bak berlian itu meredup karena cinta Ayah yang merasa kotor dan rapuh, hanya karena tak bisa menjaga nafasnya. Justru karena Ayahlah, berlian itu makin bersinar. Pasti saat ini, Bunda juga selalu menatap kita di balik binar senja itu. Mengintip di sela-sela jingga, bangga pada Ayah karena masih mencintainya.”

“Iya, kau benar Ranti. Bunda memang semakin bersinar sejak bersama Ayah. Wajahnya semakin ayu saja. Ah, jika seandainya kau bisa melihat dirinya saat itu, Ranti.”

“Bunda sangat bahagia saat bersama Ayah, dia tak pernah menyesal memilih Ayah sebagai imam dalam hatinya. Ranti yakin itu, Ayah..”

Air mata Ayah berhasil menetes kembali. Menderas jatuh ke bawah pipi.

Senja semakin melindap. Sekali lagi, hari ini dilalui dengan kenangan yang sama. Dua cangkir kopi hitam dengan tigapuluh adukan dan senja pukul lima sore. Sama seperti hari di tahun-tahun lalu, bersama sang istri tercinta.

DOA DALAM DIAMNYA CINTA


Lantunan irama sendu dari langit serasa menenangkan hati seakan mendamaikan jiwa, merasakan setiap titik kesejukan yang datang dengan kelopak mata menyayu bersama dengan bibir menyungging menyambut air karomah dari tuhan, dikala malam di tengah gemercik hujan, dalam gelap menyanyikan lagu kesunyian, semakin lama semakin dalam, semakin lama semakin tenang dalam balutan hening kekhusyuan, di atas gelaran sajadah aku meminta.
“ya Allah aku meminta dengan ilmu yang ada padaMu, pilihan yang terbaik bagiku, karena engkaulah yang maha mengetahui baik dan buruknya setiap perkara yang tidak kami ketahui, aku mohon apabila adanya kebaikan dalam dirinya untukku maka tetapkanlah untukku dan perbaikilah aku untuknya, namun bila adanya keburukan di dalam dirinya untukku maka jauhkanlah dan berikanlah kesejukan pada hatiku ini ya Allah”.
Setiap waktu di sholatku aku meminta dengan menyelipkan permintaan yang sama, hanya itu yang bisa aku lakukan di saat hati ini mulai berkamuflase dengan khayalan dalam tawa kosong dan kesedihan yang tak tau sebab, di saat aku mulai berfikir bahwa pacaran sebelum menikah adalah haram namun apakah mencintai dalam diam juga termasuk meracuni hati dengan yang tidak halal?
Hati kecilku gelisah dan bimbang, tetapi aku ingat akan satu hal, bahwa rasa cinta itu adalah fitrah setiap manusia, dan tabi’at manusia, bahkan Nabi Muhammad SAW pun tidak menyalahkan rasa tersebut, asalkan tetap dalam batas dan tidak melebihi kecintaan kita kepada Allah swt.
“di jadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada apa-apa yang di ingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang, itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (syurga)” (QS Ali Imran ; 14)
Karena adanya interaksi dengan frekuensi yang tidak jarang, itu yang membuatku mulai merasakan getaran dalam dada dengan seorang wanita, Dia yang membuatku mengerti akan definisi kata indah dengan kata-kata lembut nan bijak membawa pesan moral dalam kehidupan, menyeruak melalui hembusan nafas yang menjadi sebuah kesan dalam setiap huruf-huruf yang menjadi kata-kata, dan kata-kata yang menjadikan kalimat-kalimat sebagai penggugah jiwa, she is a beautiful creatures. Aku mengenalnya sejak dua tahun lalu, aku tak tau persis bagaimana awal kami berkenalan, yang aku tau lazimnya orang berkenalan yaitu saling bertanya nama, tempat tinggal dan daerah asal, dan pertanyaan tambahan semacamnya, karena situasi yang menjadikan kami menjadi dekat, kami lulusan dari SMA yang sama tapi sebelumnya kami tidak mengenal satu sama lain meskipun berasal dari satu sekolah yang sama, bahkan pada saat di sekolah, melihat pun hanya sekedar melihat dan hafal wajah saja, karena memang di sekolah aku jarang keluar dari kelas kecuali untuk makan siang dan jika ada keperluan kalau guru meminta.
Setelah lulus SMA aku melanjutkan ke perguruan tinggi, ternyata entah kebetulan atau memang rencana Allah aku dan dia memilih di perguruan tinggi yang sama, kebetulan satu fakultas juga, pada saat awal-awal perkuliahan di mulai, aku merasa asing dan tidak ada satu orang pun yang ku kenal kecuali dia, karena aku merasa satu sekolah asal dengannya maka aku mencoba untuk mendekatinya dan hanya dia pula yang aku kenal di antara wajah-wajah lainnya, ternyata dia pun belum terlalu mempuyai banyak kenalan di kampus barunya, mungkin karena berasal dari sekolah yang sama, kami jadi merasa dekat meskipun sewaktu di sekolah tidak pernah mengenal satu sama lain, kami banyak bercerita.
Tahun pertama kami saling kenal, aku dan dia berkomitmen untuk bersahabat, kami banyak sharing, terutama soal perkuliahan dan juga keagamaan, kami sering berbagi ilmu, dan saling tanya tentang perihal yang tidak kami ketahui tentang apapun, baik yang menyangkut, perkuliahan, keagamaan, umum, atau yang lainnya, bahkan terkadang saling menceritakan permasalahan yang sedang kami alami, dan kami saling menjadi konsultan satu sama lain secara bergantian, selama kedekatanku dengannya aku mulai dapat mengenalnya sedikit demi sedikit, insyaa Allah ia muslimah yang baik. Ternyata tanpa disadari atau mungkin kebetulan saja aku dan dia juga mempunyai satu komitmen yang sama dalam hidup kami yaitu tidak ingin berpacaran sampai adanya pernikahan, seiring berjalannya waktu ternyata banyak kesamaan di antara kami, entah ia merasa begitu atau tidak, apa mungkin karena akunya saja yang terlalu memperhatikan itu, karena aku rasa ketika di saat kita sedang merasakan kedekatan kepada seseorang, hal sekecil apapun yang berhubungan dengan kita dan seseorang itu akan terasa sangat terlihat, baik itu kesamaan antara kita dengan dia, maupun hal-hal kecil lainnya. Aku mulai merasakan suatu perasaan yang sangat sulit didefinisikan oleh kata-kata dan juga tidak mudah dicerna oleh logika, aku sering memikirkannya, membayangkan dirinya, entahlah, apakah ini A little think called love?.
Di tahun kedua aku mengenal dan bersahabat dengannya, aku masih mencintainya dalam diam dalam hembusan nafas yang tidak terkuak oleh kata-kata, entah karena dia cantik, sopan, ramah, baik agamanya, atau apapun, tapi yang aku harap insyaa Allah aku ingin bisa mencintainya karena Allah swt.
Pada pukul 13:15 seusai shalat dzuhur dia, Ismi namanya, menghubungiku melalui pesan singkat
“Assalamualaikum, ikhsan, aku ingin bercerita” ismi mengirim pesan singkat ke handphoneku
“Wa’alaikum salam, silahkan Ismi” balasku,
“kamu tau pak Doni?”,
“pak Doni dosen kita?”
“iya benar”
“kenapa dengan pak Doni?”
“Beliau melamarku, dan mengajakku menikah”
“wah bagus dong kalau begitu, berarti kamu akan menjadi istri seorang dosen, hehe”
Saat ismi terus berbicara dengan bercerita tentang hubungannya dengan pak Doni, pria yang baru saja melamaranya, aku merasakan sakit dan aku rasa, aku telah patah hati karena mendengarnya, tetapi aku tetap menjadi pendengar setia untuknya dengan selalu mencoba memberi sedikit pendapatku, hanya mencoba agar tetap berkontribusi dalam hidupnya, bukannya aku tidak berani untuk menyatakan perasaanku kepadanya tapi aku hanya ingin menghindari hal-hal yang tidak aku inginkan, aku takut kalau dia tau apa yang aku rasakan kepada dirinya, mungkin ia akan menghindar dan menjauh dariku karena dia tidak mempunyai rasa yang sama seperti yang aku rasakan, lebih baik aku mencintainya secara diam-diam tetapi aku tetap bisa berteman dekat dengannya, meskipun kami berteman dekat tetapi kami tetap menjaga agar tidak berkhalwat, sampai Allah memberi kesempatan kepada kami untuk saling menyempurnakan separuh dari agama kami dengan menikah, mengingat usia kami yang masih muda, dan belum cukupnya persiapanku untuk menikahinya maka aku tetap menjaga persahabatan kami dan tentunya hatiku agar tidak terlalu terpaut darinya, berbeda dengannya walaupun ia masih muda, karena ia seorang wanita bisa saja ia menerima lamaran dari lelaki yang mengajaknya menikah kalau ia cocok.
Kulihat pagi itu ismi sedang duduk di kursi dekat air mancur taman kampus, Subhanallah dengan jilbab toscanya yang menjulur hingga ke dada dihiasi bros kupu-kupu di dada kiri bawah bahunya ia terlihat bersinar, berbisik hati ini, your the apple of my eyes, sungguh makhluk-Mu begitu indah ya Rabb.
Aku hampiri dia,
“Assalamualaikum”
“Wa’alaikum salam ikhsan”
“kamu sedang apa ismi, pagi-pagi sekali sudah di sini?”
“iya, aku sengaja datang pagi-pagi begini, agar aku bisa mencicil membaca novel yang baru aku beli, hehe”
itu adalah salah satu kesamaan yang kami miliki dari sekian kesamaan-kesamaan kebiasaan kami, yaitu membaca, apapun jenis bacaan, dan apalagi novel, kami sering bertukar novel yang kami punya.
“tentang apa novelnya mi?”
“ini tentang persahabatan lho san, sama seperti kita” seru dia dengan tersenyum agak lebar
“oh ya, bisa kamu ceritakan sedikit untukku”
“bisa, tapi sedikit saja ya, hehe lagipula aku belum membacanya sampai akhir, jadi begini di dalam novel ini diceritakan tentang dua orang sahabat, laki-laki dan perempuan, mereka sudah lama saling kenal, mereka sangat dekat sampai-sampai orang di sekitar mereka mengira mereka berpacaran, tetapi sedekat apapun mereka, mereka tetap tidak pernah saling bersentuhan apalagi berkhalwat, mereka tetap menjaga ukhuwah islamiyah di dalam diri mereka masing-masing, mereka saling berbagi ilmu, pengalaman dan juga mereka saling menguatkan satu sama lain dalam berkomitmen beragama, pada suatu ketika sahabat laki-lakinya itu merasakan bahwa dia mulai mersakan adanya perasaan aneh, ia sering berdiam diri, tidak seceria seperti biasanya, banyak teman-temannya yang menanyakan tentang keadaannya, tetapi ia hanya tersenyum, ia merasa ada yang aneh, ia merasa sedih tapi entah apa penyebabnya ia bersedih, ingin marah tapi apa yang sudah membuatnya marah, Istighfar terus menerus yang ia lakukan, ia mencoba untuk menenangkan fikirannya dan mencari tau apa yang mengganjal di fikirannya, tetapi kenapa yang ada di fikirannya itu adalah sahabatnya sendiri, apa ia merasa itu semua karena sahabatnya, karena ia tidak ada kabar dari sahabatnya lalu ia merasa seperti itu, tapi apakah ini?, itu yang ada di dalam batinnya, dia merasa dirinya sedang berada di suatu permasalahan, ia menyadari bahwa ternyata ia mulai jatuh cinta oleh sahabatnya sendiri, suatu permasalahan yang indah, di mana ia menganggap itu masalah adalah, karena jika sahabatnya tau apa yang ia rasakan terhadap sahabat perempuannya, ia takut sahabatnya itu akan menjauh darinya, maka dari itu, ia lebih memilih untuk mencintainya dalam diam, dan itu ia anggap indah karena dengan merasakan sakit akibat mencintai dalam diam akan menambahkan keimanan dan ketaqwaan dia, sehingga ia akan terus berdzikir kepada Allah seraya mengharap akan diberi kesejukan dalam hati, agar tidak selalu terbenani dengan kecintaannya kepada suatu makhluk, dalam doanya ia berkata kepada Allah,
jika dengan patah hati mampu membuat kedekatanku dengan-Mu bertambah, aku rela berlama-lama dalam keadaan ini jika kau kehendaki ya Allah, tapi aku mohon jangan kau biarkan rasa cintaku kepada makhluk-Mu melabihi rasa cintaku kepada-Mu ya Allah, sudah cukup ya san ceritanya, aku baru sampai di situ bacanya, nanti kamu baca sendiri saja novelnya, tapi setelah aku selesai membacanya, hehe”
“oh iya, nanti aku pinjam kalau begitu, gara-gara kamu aku jadi penasaran, hihi”
“huuuu, hehe jangan-jangan kamu juga begitu, sama dengan cerita yang ada di novel ini”
“begitu bagaimana maksud kamu ismi?”
“diam-diam kamu cinta sama aku ya?”
“eehhmm”
“hehe sudahlah aku hanya bergurau san”
“dasar kamu ini”
Dalam hatiku berkata, meskipun iya aku tidak akan berkata jujur pada mu Ismi, dengan alasan yang sama seperti tokoh sahabat laki-laki yang ada di novelmu itu
Dan andai saja aku menuruti nafsuku aku akan mengatakan ini kepadanya, aku suka padamu, aku sayang padamu, aku cinta padamu, di hadapannya, tapi semua itu harus aku tahan dan bersabarlah sebagai kuncinya, karena kelak jika memang sudah waktunya aku akan mengatakan itu padanya karena aku halal baginya, dan semata-mata karena Allah swt.
Rabu pagi di bawah pohon mangga depan rumah pak Mahmud handphoneku berdering,
“Assalamualaikum, Ikhsan, nanti temui aku di kantin saat jam istirahat ya, aku ingin memberikan novel yang ingin kamu pinjam kemarin”
Pesan dari ismi rupanya, lalu aku balas
“Wa’alaikum salam, iya Ismi”
Tepat pukul 12:45 setelah makan siang dan sholat dzuhur aku berjalan ke kantin untuk menemui ismi
“Assalamulikum ismi” salamku
“Waalaikumsalam ikhsan” jawab Ismi
“ini san novelnya, aku sudah selesai membacanya”
“ok, aku pinjam ya, bagaimana kelanjutannya ceritanya kemarin?”
“baca saja, pokonya happy ending, hehe, oh iya san kemarin pak Doni ke rumahku berniat untuk melamar dan meminta izin kepada orangtuaku”
“oh, jadi kamu sekarang sudah sah dikhitbah oleh pak Doni, selamat Ismi hehe”
“tidak san, pak Doni memilih mundur”
“loh kenapa”
“beliau tidak mampu menyanggupi persyaratan dariku, karena aku berencana untuk menikah tidak secepat ini, paling tidak sampai kuliahku selesai, berarti dua tahun lagi kan, mungkin memang usia beliau yang sudah cukup matang dan tidak ingin menunda-nunda pernikahannya lagi, beliau tidak menyanggupinya dan lebih memilih untuk mundur, ya sudahlah mungkin kami belum berjodoh, di sisi lain untungnya perasaanku kepada pak Doni belum terlalu dalam, jadi aku tidak begitu sedih, hehe”
“oh jadi kamu berencana menikah dua tahun lagi?” tanyaku antusias
“insyaa Allah” jawab ismi dengan tersenyum
Dan ternyata tidak semua cerita ismi mengenai laki-laki yang mendekatinya itu menyakitkan, paling tidak aku dapat mempersiapkan lahir dan batinku sebelum ismi menerima pinangan laki-laki dua tahun kedepan, tetapi aku akan tetap menjaga cintaku ini dalam diamku, sampai waktu itu tiba.
Aku akan mencintainya dalam setiap do’a-do’a ku yang ku titipkan kepada Sang maha pemilik cinta dalam bentuk, Bingkisan do’a untukmu ukhti
Dalam diam ku berdoa, ku titipkan kepada yang meha esa (ALLAH), dengan gaya dan caraku yang khas disampaikan dengan cara-Nya yang paling terindah hanya untukmu, dan aku pun akan terus berdoa dan ikhtiar dalam kesabaranku disusul dengan usahaku kelak jika memang sudah tiba waktunya, karena sabar itu akan indah pada waktunya, benar kan ukhtii?
Aku akan memilihmu dalam naungan-Nya.
Suatu saat jika kesiapan lahir dan batinku sudah sempurna dan kau pun sudah mencapai targetmu dalam kesiapanmu untuk menikah aku akan mendatangi orangtuamu dan berkata “Pak, bu dengan segala kerendahan hati dan segala kekurangan saya, saya berniat untuk menikahi anak bapak dan ibu, yaitu kau ukhtii!”
SELESAI

Kamis, 30 Juli 2015

RUMI DAN BOTOL MINUMANNYA

Suatu malam, Maulana Jalaluddin Rumi mengundang Syams Tabrizi ke rumahnya. Sang Mursyid Syamsuddin pun menerima undangan itu dan datang ke kediaman Maulana. Setelah semua hidangan makan malam siap, Syams berkata pada Rumi;
“Apakah kau bisa menyediakan minuman untukku?”. (yang dimaksud : arak / khamr)

Maulana kaget mendengarnya, “memangnya anda juga minum?’. 
“Iya”, jawab Syams. 

Maulana masih terkejut,”maaf, saya tidak mengetahui hal ini”.

“Sekarang kau sudah tahu. Maka sediakanlah”.
“Di waktu malam seperti ini, dari mana aku bisa mendapatkan arak?”.
“Perintahkan salah satu pembantumu untuk membelinya”.

“Kehormatanku di hadapan para pembantuku akan hilang”.

“Kalau begitu, kau sendiri pergilah keluar untuk membeli minuman”.

“Seluruh kota mengenalku. Bagaimana bisa aku keluar membeli minuman?”.

“Kalau kau memang muridku, kau harus menyediakan apa yang aku inginkan. Tanpa minum, malam ini aku tidak akan makan, tidak akan berbincang, dan tidak bisa tidur”.

Karena kecintaan pada Syams, akhirnya Maulana memakai jubahnya, menyembunyikan botol di balik jubah itu dan berjalan ke arah pemukiman kaum Nasrani.

Sampai sebelum ia masuk ke pemukiman tersebut, tidak ada yang berpikir macam-macam terhadapnya, namun begitu ia masuk ke pemukiman kaum Nasrani, beberapa orang terkejut dan akhirnya menguntitnya dari belakang.

Mereka melihat Rumi masuk ke sebuah kedai arak. Ia terlihat mengisikan botol minuman kemudian ia sembunyikan lagi di balik jubah lalu keluar.

Setelah itu ia diikuti terus oleh orang-orang yang jumlahnya bertambah banyak. Hingga sampailah Maulana di depan masjid tempat ia menjadi imam bagi masyarakat kota.

Tiba-tiba salah seorang yang mengikutinya tadi berteriak; “Ya ayyuhan naas, Syeikh Jalaluddin yang setiap hari jadi imam shalat kalian baru saja pergi ke perkampungan Nasrani dan membeli minuman!!!”.

Orang itu berkata begitu sambil menyingkap jubah Maulana. Khalayak melihat botol yang dipegang Maulana. “Orang yang mengaku ahli zuhud dan kalian menjadi pengikutnya ini membeli arak dan akan dibawa pulang!!!”, orang itu menambahi siarannya.

Orang-orang bergantian meludahi muka Maulana dan memukulinya hingga serban yang ada di kepalanya lengser ke leher.

Melihat Rumi yang hanya diam saja tanpa melakukan pembelaan, orang-orang semakin yakin bahwa selama ini mereka ditipu oleh kebohongan Rumi tentang zuhud dan takwa yang diajarkannya. Mereka tidak kasihan lagi untuk terus menghajar Rumi hingga ada juga yang berniat membunuhnya.

Tiba-tiba terdengarlah suara Syams Tabrizi; “Wahai orang-orang tak tahu malu. Kalian telah menuduh seorang alim dan faqih dengan tuduhan minum khamr, ketahuilah bahwa yang ada di botol itu adalah cuka untuk bahan masakan. Seseorang dari mereka masih mengelak;

“Ini bukan cuka, ini arak”. Syams mengambil botol dan membuka tutupnya. Dia meneteskan isi botol di tangan orang-orang agar menciumnya. Mereka terkejut karena yang ada di botol itu memang cuka. Mereka memukuli kepala mereka sendiri dan bersimpuh di kaki Maulana. Mereka berdesakan untuk meminta maaf dan menciumi tangan Maulana hingga pelan-pelan mereka pergi satu demi satu.

Rumi berkata pada Syams, “Malam ini kau membuatku terjerumus dalam masalah besar sampai aku harus menodai kehormatan dan nama baikku sendiri. Apa maksud semua ini?”.

“Agar kau mengerti bahwa wibawa yang kau banggakan ini hanya khayalan semata. Kau pikir penghormatan orang-orang awam seperti mereka ini sesuatu yang abadi? Padahal kau lihat sendiri, hanya karena dugaan satu botol minuman saja semua penghormatan itu sirna dan mereka jadi meludahimu, memukuli kepalamu dan hampir saja membunuhmu. Inilah kebanggaan yang selama ini kau perjuangkan dan akhirnya lenyap dalam sesaat.

Maka bersandarlah pada yang tidak tergoyahkan oleh waktu dan tidak terpatahkan oleh perubahan zaman.