Paging

Jumat, 20 November 2015

TUHAN MAHA ROMANTIS

Sudah lima hari anak saya yang pertama, Kalky, dirawat di rumah sakit. Selama itu pula saya selalu berpikir bahwa Tuhan sedang memberi keluarga saya ujian berat… Sampai pagi ini, sebuah berita duka dari seorang teman mengentak kesadaran saya: Ia baru saja kehilangan anak keduanya.
Saya terdiam beberapa saat setelah membaca berita duka itu. Saya menatap Kalky yang masih tertidur lelap. Selang infus masih menjuntai mengalirkan cairan bening ke lengan kirinya. Betapa luput selama ini saya dari rasa syukur.
Sebagai manusia, kita memang sering salah sangka pada rencana indah Tuhan. Kita selalu punya tendensi untuk melihat ujian melulu sebagai musibah belaka. Padahal, bisa jadi, kemalangan yang sedang kita rasakan adalah cara Tuhan mencurahkan kasih sayangNya. Hanya tinggal kita bisa memeras saripati hikmahNya atau tidak… tinggal bagaimana kita menunda segala buruk sangka untuk menemukan cahaya di ujung gelap.
“Mi, gimana kalau rencana liburan akhir tahun ini kita tunda aja?” Tanya saya pada Rizqa, istri saya.
Ia mengangguk setuju. “Iya, nggak apa-apa. Kita bisa cari kesempatan lainnya, kok.” Jawabnya. “Mudah-mudahan ada rejekinya.”
Saya terdiam sejenak. “Kalau Kalky nggak sakit dan dirawat di Rumah Sakit, padahal kita bisa liburan, ya?” Ujar saya, menyesal.
Rizqa menggelengkan kepalanya. “Belum tentu,” katanya, “Bisa jadi justru kita bakal nyesel mengapa kita punya kesempatan buat liburan.” Sambungnya sambil tersenyum.
Saya mengangguk setuju. Saya bersyukur tak sedikitpun diberi pengetahuan tentang apa yang akan terjadi besok. Hidup tak akan menarik lagi, selain akan kehilangan maknanya, jika kita sudah mengetahui apa yang akan terjadi di kemudian hari, bukan?
Lagi-lagi pelajaran tentang hidup.
Pertanyaan saya : "Sudahkan Kita Bersyukur di Hari ini ?" :")  

Diambil dari : Facebook FAHD PAHDEPIE

Kamis, 19 November 2015

Kisah Petani Jagung



Ayah adalah tipe pebisnis yang membuatku tak habis pikir. Jika kebanyakan orang berbisnis, tak ingin membagi resep rahasia, ataupun ilmu utamanya, Ayah justru sebaliknya. Ayah tak pernah pelit untuk berbagi ilmu, dari sekian pegawai yang dimilikinya, semuanya diajarinya untuk membuat sepatu. Tak ada satupun ilmu yang ia sembunyikan. Tak hanya itu, didorongnya mereka untuk lepas dan mandiri dari ayah.

Aku dan Mas Agus waktu itu sampai terheran-heran. Mendidik pegawainya untuk mandiri bukankah justru akan melahirkan pesaing baru bagi usaha Ayah?

Ayah menjelaskan konsepnya dengan satu kisah sederhana. Kisah yang masih aku ingat sampai sekarang.
“Bapak pernah cerita ke kalian tentang kisah seorang petani jagung yang berhasil?”
Aku dan Mas Agus hanya menggeleng.

“Alkisah ada seorang petani jagung yang sangat sukses.”, Ayah berhenti mengambil nafas sejenak.
Aku dan Mas Agus pasang telinga, antusias mendengarkan.

Dengan nada layaknya seorang pendongeng ia melanjutkan, “Di negerinya, setiap tahun diadakan kontes jagung, untuk mencari petani mana yang menghasilkan jagung terbaik. Petani sukses tadi, dia sering memenangkan kontes jagung tersebut. Tak hanya sekali, namun berkali-kali dan boleh dikata, setiap kontes jagung diadakan petani inilah pemenangnya. Kalian tahu rahasianya?” Tanya Ayah ke arah kami.

“Pupuk rahasia?”, Mas Agus coba mejawab.

 “Bukan, bukan itu rahasianya. Suatu waktu seorang wartawan bertanya pada petani sukses ini, apa formula rahasianya dia bisa memenangkan kontes jagung tersebut sampai berkali-kali. Si petani menjawab, 'tak ada formula rahasia, aku hanya membagikan benih-benih jagung terbaikku kepada petani tetangga-tetanggaku”

“Lho, benih  jagung terbaiknya kok malah diberikan ke tetangga? Tapi kok dia yang menang? Aneh!”, tanyaku.

“Itu dia kuncinya”, Ayah tersenyum. “Alin di sekolah sudah belajar IPA kan? Tentang tanaman yang punya serbuk sari dan putik?”

“Sudah” jawabku sambil mengangguk.
“Kita tahu bahwa angin menerbangkan serbuk sari dari bunga-bunga yang masak, lalu menebarkannya dari satu ladang ke ladang yang lain.”, tangan ayah bergerak-gerak bak seorang pendongeng.

“Coba bayangkan Jika tanaman jagung tetangga buruk, maka serbuk sari yang ditebarkan ke ladang petani sukses ini pun juga buruk. Ini tentu menurunkan kualitas jagungnya.”
Kakakku manggut-manggut mulai paham.

Ayah melanjutkan “Sebaliknya jika tanaman jagung tetangga baik, maka serbuk sari yang dibawa angin dari ladang jagung mereka akan baik pula, disinilah bila kita ingin mendapatkan hasil jagung yang baik, kita harus menolong tetangga kita untuk mendapatkan jagung yang baik pula.

“Begitu pula dengan hidup kita Nak. Jika kita ingin meraih keberhasilan, maka kita harus menolong orang sekitar menjadi berhasil pula. Mereka yang ingin hidup dengan baik harus menolong orang disekitarnya untuk hidup dengan baik pula. “, Ayah menutup ceritanya dengan bijak.

Sumber : Sepatu Terakhir, Novel Inspiratif
Diambil dari : http://www.kisahinspirasi.com

Rabu, 18 November 2015

Kisah Penjual Bakso





Di suatu senja sepulang kantor, saya berkesempatan untuk mengurus tanaman di depan rumah, sambil memperhatikan beberapa anak asuh yang sedang belajar menggambar peta, juga mewarnai. Hujan rintik rintik pun menyertai di setiap sore di awal musim hujan ini.

Di kala tangan sedikit berlumuran tanah kotor...terdengar suara tek...tekk.. .tek...suara tukang bakso dorong lewat. Sambil menyeka keringat..., ku hentikan tukang bakso itu dan memesan beberapa mangkok bakso.

Selesai makan bakso, lalu saya membayarnya.

Ada satu hal yang memunculkan pertanyaan di fikiranku ketika saya membayarnya, si tukang bakso memisahkan uang yang diterimanya. Yang satu disimpan dilaci, yang satu ke dompet, yang lainnya ke kaleng bekas kue semacam kencleng. 

Kemudian aku bertanya atas rasa penasaranku ini.

"Mang boleh tahu, kenapa uang - uang itu mamang  pisahkan? Barangkali ada tujuanNya ?"
Lalu mamang bakso itu menjawab "Iya pak, memang saya memisahkan uang tersebut jarena adatujuannya dan ini sudah saya lakukan selama jadi tukang bakso kurang lebih 17 tahun.

Tujuannya sederhana saja, mamang hanya ingin memisahkan mana yang menjadi hak mamang, mana yang menjadi hak orang lain / tempat ibadah, dan mana yang menjadi hak cita-cita penyempurnaan iman ".

"Maksudnya.. ...?", saya melanjutkan bertanya.

"Iya Pak, kan agama dan Tuhan menganjurkan kita agar bisa berbagi dengan sesama. Mamang membagi 3, dengan pembagian sebagai berikut :

1. Uang yang masuk ke dompet, artinya untuk memenuhi keperluan hidup sehari - hari Mamang dan keluarga.

2. Uang yang masuk ke laci, artinya untuk infaq/sedekah, atau untuk melaksanakan ibadah Qurban. Dan alhamdulillah selama 17 tahun menjadi tukang bakso, mamang diberi kesempatan oleh Allah ikut qurban se ekor kambing, meskipun kambingnya yang ukuran sedang saja.

3. Uang yang masuk ke kencleng, karena mamang ingin menyempurnakan agama. Salah satu rukun iman di dalam Islam mewajibkan kepada umatnya yang mampu, untuk melaksanakan ibadah haji. Ibadah haji ini tentu butuh biaya yang besar. Mamang berdiskusi dengan istri dan istri menyetujui bahwa di setiap penghasilan harian hasil jualan bakso ini harus menyisihkan sebagian penghasilan sebagai tabungan haji. Dan insya Allah selama 17 tahun menabung, sekitar 2 tahun lagi mamang dan istri akan melaksanakan ibadah haji.

Mendengar jawaban dari mamang bakso tersebut hati saya sangat tersentuh.
Sungguh sebuah jawaban sederhana yang sangat mulia. Bahkan mungkin kita yang memiliki nasib sedikit lebih baik dari mamang tukang bakso tersebut, belum tentu memiliki fikiran dan rencana indah dalam hidup seperti itu. Dan seringkali berlindung di balik tidak mampu atau belum ada rejeki.

Saya melanjutkan sedikit pertanyaan, sebagai berikut : "Bukannya  ibadah haji itu hanya diwajibkan bagi yang mampu, termasuk memiliki kemampuan dalam biaya....".

Ia menjawab, " Itulah sebabnya Pak. Mamang justru malu kalau bicara soal mampu atau tidak mampu ini. Karena definisi mampu bukan hak pak RT atau pak RW, bukan hak pak Camat ataupun MUI sekalipun.

Definisi "mampu" adalah sebuah definisi dimana kita diberi kebebasan untuk mendefinisikannya sendiri. Kalau kita mendefinisikan diri sendiri sebagai orang tidak mampu, maka mungkin selamanya kita akan menjadi manusia tidak mampu. Sebaliknya kalau kita mendefinisikan diri sendiri, "mampu", maka Insya Allah dengan segala kekuasaan dan kewenangannya Allah akan memberi kemampuan pada kita".

"Masya Allah..., sebuah jawaban elegan dari seorang tukang bakso".

Sahabat-sahabat sekalian banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari percakapan di atas. Salah satunya cara dari seorang mamang bakso keliling dalam menyempurnakan ibadah kepada Allah sungguh sangat memberikan inspirasi. Semoga kita semua dapat menjadi tamunya allah yang mulia. 

Senin, 16 November 2015

Setiap Amalan Dalam Kesulitan Terkandung Pahala Yang Sangat Besar

Sahabat Dunia Islam, Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam pernah bercerita tentang pertemuan seorang laki-laki dengan seekor anjing dalam sebuah tempat tak jauh dari sumur. Kisah perjumpaan itu dimulai ketika tenggorokan lelaki tersebut betul-betul telah kering.

Lelaki ini terus melangkah meski dahaga menyiksanya sepanjang perjalanan, hingga ia menemukan sebuah sumur, lalu terjun dan meminum air di dalamnya. Air yang mengaliri kerongkongnya cukup untuk menyembuhkan rasa haus itu. Lidahnya kembali basah, tenaganya sedikit bertambah.

Saat keluar dari lubang laki-laki ini terperanjat. Di hadapan matanya sedang berdiri seekor anjing dengan muka memelas. Napasnya kempas-kempis. Lidahnya menjulur-julur. “Anjing ini pasti mengalami dahaga sangat seperti yang telah aku derita,” kata si lelaki.

Laki-laki tersebut seperti menyadari bahwa meski haus, anjing sekarat itu tak mugkin turun ke dalam sumur karena tindakan ini bisa malah mencelakakanya. Seketika ia terjun kembali ke dalam sumur. Sepatunya ia penuhi dengan air, dan naik lagi dengan beban dan tingkat kesulitan yang bertambah. Si lelaki bahagia bisa berbagi air dengan anjing.

Apa yang selanjutnya terjadi pada lelaki itu?

Rasulullah berkata, “Allah berterima kasih kepadanya, mengampuni dosa-dosanya, lantas memasukkannya ke surga.” Para sahabat bertanya, “Wahai, Rasulullah! Apakah dalam diri binatang-binatang terkandung pahala-pahala kita?”

“Dalam setiap kesulitan mencari air terkandung pahala,” sahut Nabi.

Kisah di atas mengingatkan kita pada keharusan bersifat welas asih kepada sesama makhluk, termasuk binatang. Tapi, bukankah anjing adalah binatang haram? Bukankah keringat dan air liurnya termasuk najis tingkat tinggi dan karenanya harus dijauhi?

Setiap Amalan Dalam Kesulitan Terkandung Pahala Yang Sangat Besar , Cerita tersebut Rasulullah justru menyadarkan kita bahwa status haram dan najis tak otomatis berbanding lurus dengan anjuran membenci, melaknat, dan menghinakan. Bukankah Rasulullah pernah berujar, “Irhamû man fil ardl yarhamkum man fis samâ’ (sayangilah yang di bumi, niscaya yang di langit akan menyayangimu.”

Sumber: NU Online