Paging

Rabu, 18 November 2015

Kisah Penjual Bakso





Di suatu senja sepulang kantor, saya berkesempatan untuk mengurus tanaman di depan rumah, sambil memperhatikan beberapa anak asuh yang sedang belajar menggambar peta, juga mewarnai. Hujan rintik rintik pun menyertai di setiap sore di awal musim hujan ini.

Di kala tangan sedikit berlumuran tanah kotor...terdengar suara tek...tekk.. .tek...suara tukang bakso dorong lewat. Sambil menyeka keringat..., ku hentikan tukang bakso itu dan memesan beberapa mangkok bakso.

Selesai makan bakso, lalu saya membayarnya.

Ada satu hal yang memunculkan pertanyaan di fikiranku ketika saya membayarnya, si tukang bakso memisahkan uang yang diterimanya. Yang satu disimpan dilaci, yang satu ke dompet, yang lainnya ke kaleng bekas kue semacam kencleng. 

Kemudian aku bertanya atas rasa penasaranku ini.

"Mang boleh tahu, kenapa uang - uang itu mamang  pisahkan? Barangkali ada tujuanNya ?"
Lalu mamang bakso itu menjawab "Iya pak, memang saya memisahkan uang tersebut jarena adatujuannya dan ini sudah saya lakukan selama jadi tukang bakso kurang lebih 17 tahun.

Tujuannya sederhana saja, mamang hanya ingin memisahkan mana yang menjadi hak mamang, mana yang menjadi hak orang lain / tempat ibadah, dan mana yang menjadi hak cita-cita penyempurnaan iman ".

"Maksudnya.. ...?", saya melanjutkan bertanya.

"Iya Pak, kan agama dan Tuhan menganjurkan kita agar bisa berbagi dengan sesama. Mamang membagi 3, dengan pembagian sebagai berikut :

1. Uang yang masuk ke dompet, artinya untuk memenuhi keperluan hidup sehari - hari Mamang dan keluarga.

2. Uang yang masuk ke laci, artinya untuk infaq/sedekah, atau untuk melaksanakan ibadah Qurban. Dan alhamdulillah selama 17 tahun menjadi tukang bakso, mamang diberi kesempatan oleh Allah ikut qurban se ekor kambing, meskipun kambingnya yang ukuran sedang saja.

3. Uang yang masuk ke kencleng, karena mamang ingin menyempurnakan agama. Salah satu rukun iman di dalam Islam mewajibkan kepada umatnya yang mampu, untuk melaksanakan ibadah haji. Ibadah haji ini tentu butuh biaya yang besar. Mamang berdiskusi dengan istri dan istri menyetujui bahwa di setiap penghasilan harian hasil jualan bakso ini harus menyisihkan sebagian penghasilan sebagai tabungan haji. Dan insya Allah selama 17 tahun menabung, sekitar 2 tahun lagi mamang dan istri akan melaksanakan ibadah haji.

Mendengar jawaban dari mamang bakso tersebut hati saya sangat tersentuh.
Sungguh sebuah jawaban sederhana yang sangat mulia. Bahkan mungkin kita yang memiliki nasib sedikit lebih baik dari mamang tukang bakso tersebut, belum tentu memiliki fikiran dan rencana indah dalam hidup seperti itu. Dan seringkali berlindung di balik tidak mampu atau belum ada rejeki.

Saya melanjutkan sedikit pertanyaan, sebagai berikut : "Bukannya  ibadah haji itu hanya diwajibkan bagi yang mampu, termasuk memiliki kemampuan dalam biaya....".

Ia menjawab, " Itulah sebabnya Pak. Mamang justru malu kalau bicara soal mampu atau tidak mampu ini. Karena definisi mampu bukan hak pak RT atau pak RW, bukan hak pak Camat ataupun MUI sekalipun.

Definisi "mampu" adalah sebuah definisi dimana kita diberi kebebasan untuk mendefinisikannya sendiri. Kalau kita mendefinisikan diri sendiri sebagai orang tidak mampu, maka mungkin selamanya kita akan menjadi manusia tidak mampu. Sebaliknya kalau kita mendefinisikan diri sendiri, "mampu", maka Insya Allah dengan segala kekuasaan dan kewenangannya Allah akan memberi kemampuan pada kita".

"Masya Allah..., sebuah jawaban elegan dari seorang tukang bakso".

Sahabat-sahabat sekalian banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari percakapan di atas. Salah satunya cara dari seorang mamang bakso keliling dalam menyempurnakan ibadah kepada Allah sungguh sangat memberikan inspirasi. Semoga kita semua dapat menjadi tamunya allah yang mulia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar