Pada suatu malam, seorang buta berpamitan pulang dari rumah sahabatnya. Sang sahabat membekalinya dengan sebuah lentera pelita.
Melihat hal itu, orang buta tersebut terbahak dan berkata, "Buat apa saya bawa pelita ? Kan sama saja buat saya ! Saya bisa pulang kok."
Dengan lembut sahabatnya menjawab, "Ini agar orang lain bisa melihat kamu, biar mereka tidak menabrakmu." Akhirnya orang buta itu setuju untuk membawa pelita tersebut.
Tak berapa lama dalam perjalanan, seorang pejalan menabrak si buta. Dalam kagetnya, ia mengomel, "Hei, kamu kan punya mata ! Beri jalan buat orang buta dong !" Tanpa berbalas sapa, mereka pun saling berlalu.
-----***-----
Kemudian orang buta tersebut melanjutkan perjalanan. Tak berapa lama, seorang pejalan lainnya menabrak si buta. Kali ini si buta bertambah marah, "Apa kamu buta ? Tidak bisa lihat ya ? Aku bawa pelita ini supaya kamu bisa lihat !"
Pejalan itu menukas, "Kamu yang buta ! Apa kamu tidak lihat, pelitamu sudah padam !"
Si buta tertegun. Menyadari situasi itu, penabraknya meminta maaf, "Oh, maaf, sayalah yang 'buta', saya tidak melihat bahwa Anda adalah orang buta."
Si buta tersipu menjawab, "Tidak apa-apa, maafkan saya juga atas kata-kata kasar saya." Dengan tulus, si penabrak membantu menyalakan kembali pelita yang dibawa si buta. Mereka pun melanjutkan perjalanannya masing-masing.
-----***-----
Dalam perjalanan selanjutnya, ada lagi pejalan yang menabrak orang buta tersebut. Kali ini, si buta lebih berhati-hati, dia bertanya dengan santun, "Maaf, apakah pelita saya padam ?"
Penabraknya menjawab, "Lho, saya justru mau menanyakan hal yang sama."
Senyap sejenak. Secara berbarengan mereka bertanya, "Apakah Anda orang buta ?"
Secara serempak pun mereka menjawab, "Iya.," sembari meledak dalam tawa. Mereka pun berupaya saling membantu menemukan kembali pelita mereka yang berjatuhan sehabis bertabrakan.
-----***-----
Ketika mereka sedang mencari pelita mereka, lewatlah seseorang. Dalam keremangan malam, nyaris saja ia menubruk kedua orang yang sedang mencari-cari pelita tersebut. Ia pun berlalu, tanpa mengetahui bahwa mereka adalah orang buta. Timbul pikiran dalam benak orang ini, "Sepertinya saya perlu membawa pelita, jadi saya bisa melihat jalan dengan lebih baik, orang lain juga bisa ikut melihat jalan mereka."
Refleksi Hikmah :
Pelita melambangkan terang kebijaksanaan. Membawa pelita berarti menjalankan kebijaksanaan dalam hidup. Pelita, sama halnya dengan kebijaksanaan, melindungi kita dan pihak lain dari berbagai aral rintangan (tabrakan !).
Si buta pertama, mewakili mereka yang terselubungi kegelapan batin, keangkuhan, kebebalan, ego, dan kemarahan. Selalu menunjuk ke arah orang lain, TIDAK SADAR bahwa LEBIH BANYAK JARINYA yang menunjuk ke arah dirinya sendiri. Dalam perjalanan "pulang", ia belajar menjadi bijak melalui peristiwa demi peristiwa yang dialaminya. Ia menjadi lebih rendah hati karena menyadari kebutaannya dan dengan adanya belas kasih dari pihak lain. Ia juga belajar menjadi pemaaf.
Penabrak pertama, mewakili orang-orang pada umumnya, yang kurang kesadaran, yang kurang peduli. Kadang, mereka memilih untuk "membuta" walaupun sebenarnya mereka bisa melihat.
Penabrak kedua, mewakili mereka yang seolah bertentangan dengan kita, yang sebetulnya menunjukkan kekeliruan kita, sengaja atau tidak sengaja. Mereka bisa menjadi guru-guru terbaik kita. Tak seorang pun yang mau jadi buta, sudah selayaknya kita saling memaklumi dan saling membantu.
Orang buta kedua, mewakili mereka yang sama-sama gelap batin dengan kita. Betapa sulitnya menyalakan pelita kalau kita bahkan tidak bisa melihat pelitanya. Orang buta sulit menuntun orang buta lainnya. Itulah pentingnya untuk terus belajar agar kita menjadi makin melek, semakin bijaksana.
Orang terakhir yang lewat, mewakili mereka yang cukup sadar akan pentingnya memiliki pelita kebijaksanaan.
Sudahkah kita sulut pelita dalam diri kita masing-masing ? Jika sudah, apakah nyalanya masih terang, atau bahkan nyaris padam ? JADILAH PELITA, bagi diri kita sendiri dan sekitar kita.
Paging
Kamis, 27 Agustus 2015
Rabu, 26 Agustus 2015
Ini Dia Doa yang Dibaca ketika Sujud dalam Shalat
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ (سورة البقرة: )
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia Termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 34)
Ada beberapa doa dan bacaan yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sujud. Sikap yang tepat adalah mengamalkannya secara bergantian. Misalnya pada saat shalat subuh kita membaca doa sujud 1, ketika shalat dzuhur membaca doa sujud 2, dan seterusnya. Sehingga semua sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kita amalkan dan ajaran beliau menjadi lestari.
Berikut beberapa doa sujud yang sesuai sunah:
Pertama,
سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى
Subhaana rabbiyal a’laa (3 kali)
Beliau pernah membaca doa ini berulang-ulang ketika sujud shalat malam, sehingga sujud beliau hampir sama lamanya dengan berdiri beliau.
Kedua,
سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى وَبِحَمْدِهِ
Subhaana rabbiyal a’laa wa bihamdih (3 kali)
Ketiga,
سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ، رَبُّ الْمَلَائِكَةِ وَالرُّوحِ
Subbuuhun qudduusun rabbul malaaikati war ruuh
Yang dimaksud ruuh dalam doa ini adalah Malaikat Jibril
Keempat,
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي
Subhaa-nakallahumma rabbanaa wa biham-dika allaahum-maghfil-lii
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak membaca doa ini dalam rukuk dan sujudnya, setelah turun surat An-Nashr. Beliau lakukan demikian, dalam rangka mengamalkan perintah di akhir surat An-Nashr. (HR. Bukhari)
Kelima,
اللهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي كُلَّهُ دِقَّهُ، وَجُلَّهُ، وَأَوَّلَهُ وَآخِرَهُ وَعَلَانِيَتَهُ وَسِرَّه
Allahummagh-fir-lii dzan-bii kullahuu, diqqahuu, wa jullahuu, wa awwa-lahuu, wa aa-khirahuu, wa ‘alaa-niya-tahuu wa sirrahuu
Keenam,
اللهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَلَكَ أَسْلَمْتُ، سَجَدَ وَجْهِي لِلَّذِي خَلَقَهُ، وَصَوَّرَهُ، وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ، تَبَارَكَ اللهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
Allahumma laka sajad-tu, wa bika aamantu, wa laka aslam-tu. Sajada wajhii lilladzii khala-qahuu, wa shawwa-rahuu, wa syaqqa sam’ahuu wa basharahuu, tabaarakallahu ahsanul khaaliqiin.
Ketujuh,
سُبْحَانَ ذِي الْجَبَرُوتِ وَالْمَلَكُوتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ
Subhaana dzil jabaruut, wal malakuut, walkibriyaa, wal ‘adzamah
Doa sujud ini pernah beliau baca ketika shalat malam. Beliau mengulang-ulang lama sekali. Karena ketika berdiri, beliau membaca surat Al-Baqarah.
Ada juga beberapa doa sujud yang khusus dibaca ketika shalat malam. Berikut diantaranya,
Pertama,
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ
Subhaanaka allahumma wa bihamdika laa ilaaha illa anta
Kedua,
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي مَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ
Allahummagh-firlii maa asrar-tu wa maa a’lantu
Ketiga,
اللهُمَّ أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
allahumma innii a-‘uudzu bi ridhaa-ka min sakhatik, wa bi mu’aafatika min ‘uquubatik, wa a-‘uudzu bika min-ka, laa uh-shii tsa-naa-an ‘alaika anta, kamaa ats-naita ‘alaa nafsik
Berdasarkan keterangan A’isyah, doa ini dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau sujud pada saat shalat malam.
Semoga Bermanaat :)
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ (سورة البقرة: )
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia Termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 34)
Ada beberapa doa dan bacaan yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sujud. Sikap yang tepat adalah mengamalkannya secara bergantian. Misalnya pada saat shalat subuh kita membaca doa sujud 1, ketika shalat dzuhur membaca doa sujud 2, dan seterusnya. Sehingga semua sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kita amalkan dan ajaran beliau menjadi lestari.
Berikut beberapa doa sujud yang sesuai sunah:
Pertama,
سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى
Subhaana rabbiyal a’laa (3 kali)
Beliau pernah membaca doa ini berulang-ulang ketika sujud shalat malam, sehingga sujud beliau hampir sama lamanya dengan berdiri beliau.
Kedua,
سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى وَبِحَمْدِهِ
Subhaana rabbiyal a’laa wa bihamdih (3 kali)
Ketiga,
سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ، رَبُّ الْمَلَائِكَةِ وَالرُّوحِ
Subbuuhun qudduusun rabbul malaaikati war ruuh
Yang dimaksud ruuh dalam doa ini adalah Malaikat Jibril
Keempat,
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي
Subhaa-nakallahumma rabbanaa wa biham-dika allaahum-maghfil-lii
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak membaca doa ini dalam rukuk dan sujudnya, setelah turun surat An-Nashr. Beliau lakukan demikian, dalam rangka mengamalkan perintah di akhir surat An-Nashr. (HR. Bukhari)
Kelima,
اللهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي كُلَّهُ دِقَّهُ، وَجُلَّهُ، وَأَوَّلَهُ وَآخِرَهُ وَعَلَانِيَتَهُ وَسِرَّه
Allahummagh-fir-lii dzan-bii kullahuu, diqqahuu, wa jullahuu, wa awwa-lahuu, wa aa-khirahuu, wa ‘alaa-niya-tahuu wa sirrahuu
Keenam,
اللهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَلَكَ أَسْلَمْتُ، سَجَدَ وَجْهِي لِلَّذِي خَلَقَهُ، وَصَوَّرَهُ، وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ، تَبَارَكَ اللهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
Allahumma laka sajad-tu, wa bika aamantu, wa laka aslam-tu. Sajada wajhii lilladzii khala-qahuu, wa shawwa-rahuu, wa syaqqa sam’ahuu wa basharahuu, tabaarakallahu ahsanul khaaliqiin.
Ketujuh,
سُبْحَانَ ذِي الْجَبَرُوتِ وَالْمَلَكُوتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ
Subhaana dzil jabaruut, wal malakuut, walkibriyaa, wal ‘adzamah
Doa sujud ini pernah beliau baca ketika shalat malam. Beliau mengulang-ulang lama sekali. Karena ketika berdiri, beliau membaca surat Al-Baqarah.
Ada juga beberapa doa sujud yang khusus dibaca ketika shalat malam. Berikut diantaranya,
Pertama,
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ
Subhaanaka allahumma wa bihamdika laa ilaaha illa anta
Kedua,
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي مَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ
Allahummagh-firlii maa asrar-tu wa maa a’lantu
Ketiga,
اللهُمَّ أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
allahumma innii a-‘uudzu bi ridhaa-ka min sakhatik, wa bi mu’aafatika min ‘uquubatik, wa a-‘uudzu bika min-ka, laa uh-shii tsa-naa-an ‘alaika anta, kamaa ats-naita ‘alaa nafsik
Berdasarkan keterangan A’isyah, doa ini dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau sujud pada saat shalat malam.
Semoga Bermanaat :)
Selasa, 25 Agustus 2015
Hadiah Terindah Hari Raya Idul Fitri
Menjelang hari raya, seorang Ayah membeli beberapa gulung kertas kado. Putrinya yang masih kecil, masih balita, meminta satu gulung.
"Untuk apa ?" tanya sang Ayah.
"Untuk kado, mau kasih hadiah" jawab si kecil.
"Jangan dibuang-buang ya" pesan si Ayah, sambil memberikan satu gulungan kecil.
Persis pada hari raya, pagi-pagi si kecil sudah bangun dan membangunkan Ayahnya, "Pa, Pa ada hadiah untuk Papa."
Sang Ayah yang masih malas-malasan, dengan mata yang belum melek pun menjawab, "Sudahlah nanti saja."
Tetapi si kecil pantang menyerah, "Pa, Pa, bangun Pa, sudah siang."
"Ah, kamu gimana sih, pagi-pagi sudah bangunin Papa."
Ia mengenali kertas kado yang pernah ia berikan kepada anaknya.
"Hadiah apa nih ?", tanya sang Ayah.
"Hadiah hari raya untuk Papa. Buka dong Pa, buka sekarang", jawab anaknya dengan penuh semangat.
Dan sang Ayah pun membuka bingkisan itu. Ternyata di dalamnya hanya sebuah kotak kosong. Tidak berisi apa pun juga.
"Ah, kamu bisa saja. Bingkisannya kok kosong. Buang-buang kertas kado apa. Kan mahal ?"
Si kecil menjawab, "Nggak Pa, nggak kosong. Tadi, Putri masukin begitu buaanyaak ciuman untuk Papa."
Sang Ayah terharu, ia mengangkat anaknya. Dipeluknya, diciumnya.
"Putri, Papa belum pernah menerima hadiah seindah ini. Papa akan selalu menyimpan boks ini. Papa akan bawa ke kantor dan sekali-sekali kalau perlu ciuman Putri, Papa akan mengambil satu. Nanti kalau kosong diisi lagi ya !"
Refleksi Hikmah :
Kotak kosong yang sesaat sebelumnya dianggap tidak berisi, tidak memiliki nilai apa pun, tiba-tiba terisi, tiba-tiba memiliki nilai yang begitu tinggi. Apa yang terjadi ?
Lalu, kendati kotak itu memiliki nilai yang sangat tinggi di mata sang Ayah, di mata orang lain tetap juga tidak memiliki nilai apa pun. Orang lain akan tetap menganggapnya kotak kosong. Kosong bagi seseorang bisa dianggap penuh oleh orang lain. Sebaliknya, penuh bagi seseorang bisa dianggap kosong oleh orang lain.Kosong dan penuh, dua-duanya merupakan produk dari "pikiran" anda sendiri. Sebagaimana anda memandangi hidup demikianlah kehidupan anda. Hidup menjadi berarti, bermakna, karena anda memberikan arti kepadanya, memberikan makna kepadanya. Bagi mereka yang tidak memberikan makna, tidak memberikan arti, hidup ini ibarat lembaran kertas yang kosong.
Senin, 24 Agustus 2015
Ketika Hukuman Allah Berlaku
Ini adalah sebuah kisah nyata yang terjadi di salah satu kota di Kerajaan Arab Saudi yang ditulis berdasarkan penuturan pelakunya sendiri, sebut saja namanya Shabir.
Kisah ini bermula ketika Shabir yang masih berstatus sebagai mahasiswa di Fakultas Hukum pada salah satu universitas ternama di Arab Saudi kembali ke rumahnya pada suatu hari. Ketika itu dia mendapati istrinya sedang melakukan perselingkuhan dengan seorang lelaki yang tidak dikenalnya. Demi melihat dia datang, Istrinya dan lelaki asing itu merasa ketakutan, seolah-olah petir yang datang dari langit tengah menyambar-nyambar mereka. Shabir berkata kepada lelaki itu, “Pakailah pakaianmu”
“Demi Allah, Tuhan Yang Maha Esa, istrimu yang menggodaku.”
“Pakailah pakaianmu, semoga Allah menutup aibmu ini.”
Shabir mengusir orang itu keluar dari rumahnya, sementara api kemarahan tengah bergejolak hebat di dalam dadanya. Namun dia berusaha untuk menguasai diri, karena dia yakin ada hikmah di balik kejadian ini. Lelaki itu keluar dengan senyum sinis karena menganggap Shabir adalah suami yang bodoh, terbukti dia tidak marah kepadanya, bahkan membentaknya pun tidak. Shabir hanya mengatakan, “Cukuplah Allah menjadi penolong bagiku dan Dia sebaik-baik pelindung atas semua kesedihan dan rasa sakit yang aku rasakan.”
Jika seseorang dalam posisi seperti ini mungkin dia akan memilih mati daripada hidup menanggung malu. Namun Shabir adalah seorang yang shalih, dia kembali ke kamar, melihat istrinya dan mengatakan, “Istriku, tolong segera kumpulkan semua pakaian dan barang-barangmu, aku menunggu di luar kamar untuk mengantarmu ke rumah keluargamu.”
Istrinya tertunduk malu dan duduk sambil menangisi dirinya. Dia menyesali apa yang telah terjadi dan baru tersadar bahwa itu semua adalah perbuatan setan durjana. Shabir dengan tenang menjatuhkan talak tiga kepada istrinya, lantas mengatakan, “Semoga Allah menutup aibmu, cukuplah Allah menjadi penolong bagiku dan Dia sebaik-baik pelindung.”
Setelah wanita itu selesai berkemas, Shabir mengantarkannya ke sebuah kota dengan jarak perjalanan 300 km hingga sampai di rumah keluarga mantan istrinya tersebut. Sesampainya di rumah itu, Shabir berkata kepada mantan istrinya, “Semoga Allah menutup semua aibmu dan takutlah kepada Allah yang telah melihat semua perbuatanmu, semoga Dia memberikan lelaki lain yang lebih baik dari diriku.”
Wanita itu menimpali, “Sungguh, aku tidak berhak memilikimu.” Dia pun hanya bisa duduk memaki-maki dirinya sendiri sementara Shabir kembali ke kota tempatnya beraktivitas.
___ Beberapa Tahun Kemudian ___
Singkat cerita, Shabir berhasil lulus dari Universitas King Abdul Aziz di Jeddah. Namun, senyum sinis lelaki yang melakukan maksiat bersama istrinya beberapa tahun silam selalu terbayang-bayang di pelupuk matanya. Tidak lama setelah lulus, dia pun menikah untuk kedua kalinya, dan atas berkat rahmat Allah dia pun diangkat sebagai hakim di sebuah pengadilan di kota tempat tinggalnya. Dia pernah bercerita kepada salah seorang kolega perihal istri keduanya yang begitu baik, “Allah Ta’ala telah memberikan ganti yang lebih baik daripada istriku yang pertama, aku bahkan tidak pernah bermimpi mempunyai istri sebaik dia.”
Suatu ketika dia pernah diminta mengajar di almamaternya karena dia berhasil mendapatkan predikat mahasiswa terbaik kedua, tapi dia menolak dan hanya memilih profesi sebagai hakim. Dia pun fokus untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Tidak lama setelah menyelesaikan program Magister dia pun berhasil merampungkan program Doktoral dengan waktu yang tidak lama. Setelah itu, dia diangkat sebagai Hakim Pengadilan Tinggi di kota Jeddah.
Shabir mengatakan, “Dalam setiap shalat aku memohon kepada Allah agar dapat menghilangkan peristiwa tersebut dari ingatanku, namun setiap kali melihat orang yang tersenyum bayangan lelaki bejat itu selalu datang menghantuiku, maka aku pun segera mengucapkan 'Adzubulillahi Minasy Syaithanir Rajim (aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk).”
Seperti biasanya, Shabir menerima berkas perkara pidana yang harus diproses secara hukum dengan segera melalui pengadilan. Salah satu berkas yang diterima adalah kasus pembunuhan. Pada saat itulah dia mengetahui ganjaran dari Allah terhadap kata-kata yang pernah diucapkan sebelumnya, “Cukuplah Allah menjadi penolong bagiku dan Dia sebaik-baik pelindung.”
Tak dinyana, pembunuh tersebut adalah orang yang pernah dia temui bersama istri pertamanya di dalam rumah beberapa tahun silam. Orang itu terbukti telah membunuh seseorang dengan besi sehingga kondisinya sangat mengenaskan. Ketika lelaki itu datang ke kantornya terjadilah dialog di antara mereka berdua.
“Tuan, aku hanya meminta pertolongan Allah kemudian kepada Anda.”
“Apa yang membawamu ke sini dan apa masalahmu ?”
“Aku menemukan seorang pria di tempat tidur bersama istriku lalu aku langsung membunuhnya.”
“Mengapa kamu tidak membunuh istrimu sekalian agar kamu bergelar Sang Pemberani dan anak dari bapak pemberani ?”
“Aku telah membunuh orang itu dan aku tidak menyadarinya.”
“Kalau begitu, mengapa kamu tidak membiarkan lelaki itu pergi lalu kamu katakan padanya, ‘Semoga Allah menutup aibmu ini ?'”
“Apakah Anda rela jika hal itu terjadi pada dirimu Tuan ?”
“Ya, aku rela dan aku tidak akan mengatakan apapun selain, 'Cukuplah Allah menjadi penolong bagiku dan Dia sebaik-baik pelindung.'”
Orang itu tercengang sambil mengatakan, “Sepertinya aku pernah mendengar kata-kata itu sebelumnya.”
“Ya, benar. Kamu pernah mendengarnya dari mulutku ketika kamu melakukan perselingkuhan dengan istriku di dalam rumahku. Kamu memanfaatkan kepergianku untuk berzina dengannya. Apakah kamu masih ingat senyum sinismu kepadaku ketika beranjak dari rumahku ? Apakah kamu ingat aku mengatakan, ‘Semoga Allah menutup aibmu ini ?' Sungguh, ketika itu jantungku bak disayat-disayat dengan sembilu. Aku merasakan sakit yang tak terperikan. Memang benar, Allah tidak menghukummu ketika itu, namun kamu terus melakukan maksiat kepada Allah sehingga sekarang hukum qishash sedang menunggumu. Aku bersumpah demi Allah Yang Maha Agung bahwa aku yakin sepanjang hidupmu pasti kamu tidak akan pernah melupakan peristiwa itu.”
Shabir pun terdiam beberapa saat. Kemudian dia kembali angkat bicara, “Menurutmu apa yang bisa aku lakukan sekarang jika keluarga korban tidak mau memaafkanmu ? Sudah pasti aku akan menerapkan hukum Allah pada dirimu.”
“Aku sudah mengetahui hal itu, tapi aku hanya meminta satu hal dari Anda.”
“Apa yang kamu inginkan ?”
“Aku ingin Anda memaafkanku dan berdo'a kepada Allah agar melimpahkan rahmat-Nya kepadaku. Aku akui bahwa aku telah menuruti langkah setan yang terkutuk. Hanya Allah sebagai saksi bahwa apa yang dikatakan oleh istrimu itu benar. Akulah yang telah menggodanya dengan bermacam cara untuk merenggut kehormatannya. Jika satu cara gagal maka aku selalu berusaha mencari cara yang lain. Inilah yang sebenarnya terjadi. Duhai kiranya Anda membunuhku ketika itu sehingga aku tidak mengalami hal yang serupa.”
“Semoga Allah memaafkanmu di dunia dan akhirat kelak. Sungguh, peristiwa itu bukan hal yang mudah untuk dilupakan, akan tetapi aku selalu berdzikir kepada Allah agar memudahkan semua urusanku.”
Shabir tidak berhenti sampai di situ, dia berusaha menghubungi beberapa pemuka agama untuk membujuk keluarga korban agar sudi memaafkan si pembunuh, karena memaafkan adalah tanda kebesaran jiwa seseorang sekalipun tidak memaafkannya juga hak keluarga tersebut. Namun hikmah Allah di atas segalanya, keluarga korban tidak mau memaafkan pembunuh itu, mereka bersikukuh agar Hakim menjatuhkan hukum 'Qishash' kepada orang itu, sehingga tidak ada lagi korban berikutnya. Subhanallah.
Dari kisah ini dapat kita petik pelajaran bahwa setiap amalan akan diganjar di dunia sebelum di akhirat kelak, entah itu amalan baik maupun buruk. Sungguh benar apa yang difirmankan Allah Ta’ala, “Maka maafkanlah dan berlapang dadalah, sampai Allah memberikan perintah-Nya. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah : 109)
Kisah ini bermula ketika Shabir yang masih berstatus sebagai mahasiswa di Fakultas Hukum pada salah satu universitas ternama di Arab Saudi kembali ke rumahnya pada suatu hari. Ketika itu dia mendapati istrinya sedang melakukan perselingkuhan dengan seorang lelaki yang tidak dikenalnya. Demi melihat dia datang, Istrinya dan lelaki asing itu merasa ketakutan, seolah-olah petir yang datang dari langit tengah menyambar-nyambar mereka. Shabir berkata kepada lelaki itu, “Pakailah pakaianmu”
“Demi Allah, Tuhan Yang Maha Esa, istrimu yang menggodaku.”
“Pakailah pakaianmu, semoga Allah menutup aibmu ini.”
Shabir mengusir orang itu keluar dari rumahnya, sementara api kemarahan tengah bergejolak hebat di dalam dadanya. Namun dia berusaha untuk menguasai diri, karena dia yakin ada hikmah di balik kejadian ini. Lelaki itu keluar dengan senyum sinis karena menganggap Shabir adalah suami yang bodoh, terbukti dia tidak marah kepadanya, bahkan membentaknya pun tidak. Shabir hanya mengatakan, “Cukuplah Allah menjadi penolong bagiku dan Dia sebaik-baik pelindung atas semua kesedihan dan rasa sakit yang aku rasakan.”
Jika seseorang dalam posisi seperti ini mungkin dia akan memilih mati daripada hidup menanggung malu. Namun Shabir adalah seorang yang shalih, dia kembali ke kamar, melihat istrinya dan mengatakan, “Istriku, tolong segera kumpulkan semua pakaian dan barang-barangmu, aku menunggu di luar kamar untuk mengantarmu ke rumah keluargamu.”
Istrinya tertunduk malu dan duduk sambil menangisi dirinya. Dia menyesali apa yang telah terjadi dan baru tersadar bahwa itu semua adalah perbuatan setan durjana. Shabir dengan tenang menjatuhkan talak tiga kepada istrinya, lantas mengatakan, “Semoga Allah menutup aibmu, cukuplah Allah menjadi penolong bagiku dan Dia sebaik-baik pelindung.”
Setelah wanita itu selesai berkemas, Shabir mengantarkannya ke sebuah kota dengan jarak perjalanan 300 km hingga sampai di rumah keluarga mantan istrinya tersebut. Sesampainya di rumah itu, Shabir berkata kepada mantan istrinya, “Semoga Allah menutup semua aibmu dan takutlah kepada Allah yang telah melihat semua perbuatanmu, semoga Dia memberikan lelaki lain yang lebih baik dari diriku.”
Wanita itu menimpali, “Sungguh, aku tidak berhak memilikimu.” Dia pun hanya bisa duduk memaki-maki dirinya sendiri sementara Shabir kembali ke kota tempatnya beraktivitas.
___ Beberapa Tahun Kemudian ___
Singkat cerita, Shabir berhasil lulus dari Universitas King Abdul Aziz di Jeddah. Namun, senyum sinis lelaki yang melakukan maksiat bersama istrinya beberapa tahun silam selalu terbayang-bayang di pelupuk matanya. Tidak lama setelah lulus, dia pun menikah untuk kedua kalinya, dan atas berkat rahmat Allah dia pun diangkat sebagai hakim di sebuah pengadilan di kota tempat tinggalnya. Dia pernah bercerita kepada salah seorang kolega perihal istri keduanya yang begitu baik, “Allah Ta’ala telah memberikan ganti yang lebih baik daripada istriku yang pertama, aku bahkan tidak pernah bermimpi mempunyai istri sebaik dia.”
Suatu ketika dia pernah diminta mengajar di almamaternya karena dia berhasil mendapatkan predikat mahasiswa terbaik kedua, tapi dia menolak dan hanya memilih profesi sebagai hakim. Dia pun fokus untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Tidak lama setelah menyelesaikan program Magister dia pun berhasil merampungkan program Doktoral dengan waktu yang tidak lama. Setelah itu, dia diangkat sebagai Hakim Pengadilan Tinggi di kota Jeddah.
Shabir mengatakan, “Dalam setiap shalat aku memohon kepada Allah agar dapat menghilangkan peristiwa tersebut dari ingatanku, namun setiap kali melihat orang yang tersenyum bayangan lelaki bejat itu selalu datang menghantuiku, maka aku pun segera mengucapkan 'Adzubulillahi Minasy Syaithanir Rajim (aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk).”
Seperti biasanya, Shabir menerima berkas perkara pidana yang harus diproses secara hukum dengan segera melalui pengadilan. Salah satu berkas yang diterima adalah kasus pembunuhan. Pada saat itulah dia mengetahui ganjaran dari Allah terhadap kata-kata yang pernah diucapkan sebelumnya, “Cukuplah Allah menjadi penolong bagiku dan Dia sebaik-baik pelindung.”
Tak dinyana, pembunuh tersebut adalah orang yang pernah dia temui bersama istri pertamanya di dalam rumah beberapa tahun silam. Orang itu terbukti telah membunuh seseorang dengan besi sehingga kondisinya sangat mengenaskan. Ketika lelaki itu datang ke kantornya terjadilah dialog di antara mereka berdua.
“Tuan, aku hanya meminta pertolongan Allah kemudian kepada Anda.”
“Apa yang membawamu ke sini dan apa masalahmu ?”
“Aku menemukan seorang pria di tempat tidur bersama istriku lalu aku langsung membunuhnya.”
“Mengapa kamu tidak membunuh istrimu sekalian agar kamu bergelar Sang Pemberani dan anak dari bapak pemberani ?”
“Aku telah membunuh orang itu dan aku tidak menyadarinya.”
“Kalau begitu, mengapa kamu tidak membiarkan lelaki itu pergi lalu kamu katakan padanya, ‘Semoga Allah menutup aibmu ini ?'”
“Apakah Anda rela jika hal itu terjadi pada dirimu Tuan ?”
“Ya, aku rela dan aku tidak akan mengatakan apapun selain, 'Cukuplah Allah menjadi penolong bagiku dan Dia sebaik-baik pelindung.'”
Orang itu tercengang sambil mengatakan, “Sepertinya aku pernah mendengar kata-kata itu sebelumnya.”
“Ya, benar. Kamu pernah mendengarnya dari mulutku ketika kamu melakukan perselingkuhan dengan istriku di dalam rumahku. Kamu memanfaatkan kepergianku untuk berzina dengannya. Apakah kamu masih ingat senyum sinismu kepadaku ketika beranjak dari rumahku ? Apakah kamu ingat aku mengatakan, ‘Semoga Allah menutup aibmu ini ?' Sungguh, ketika itu jantungku bak disayat-disayat dengan sembilu. Aku merasakan sakit yang tak terperikan. Memang benar, Allah tidak menghukummu ketika itu, namun kamu terus melakukan maksiat kepada Allah sehingga sekarang hukum qishash sedang menunggumu. Aku bersumpah demi Allah Yang Maha Agung bahwa aku yakin sepanjang hidupmu pasti kamu tidak akan pernah melupakan peristiwa itu.”
Shabir pun terdiam beberapa saat. Kemudian dia kembali angkat bicara, “Menurutmu apa yang bisa aku lakukan sekarang jika keluarga korban tidak mau memaafkanmu ? Sudah pasti aku akan menerapkan hukum Allah pada dirimu.”
“Aku sudah mengetahui hal itu, tapi aku hanya meminta satu hal dari Anda.”
“Apa yang kamu inginkan ?”
“Aku ingin Anda memaafkanku dan berdo'a kepada Allah agar melimpahkan rahmat-Nya kepadaku. Aku akui bahwa aku telah menuruti langkah setan yang terkutuk. Hanya Allah sebagai saksi bahwa apa yang dikatakan oleh istrimu itu benar. Akulah yang telah menggodanya dengan bermacam cara untuk merenggut kehormatannya. Jika satu cara gagal maka aku selalu berusaha mencari cara yang lain. Inilah yang sebenarnya terjadi. Duhai kiranya Anda membunuhku ketika itu sehingga aku tidak mengalami hal yang serupa.”
“Semoga Allah memaafkanmu di dunia dan akhirat kelak. Sungguh, peristiwa itu bukan hal yang mudah untuk dilupakan, akan tetapi aku selalu berdzikir kepada Allah agar memudahkan semua urusanku.”
Shabir tidak berhenti sampai di situ, dia berusaha menghubungi beberapa pemuka agama untuk membujuk keluarga korban agar sudi memaafkan si pembunuh, karena memaafkan adalah tanda kebesaran jiwa seseorang sekalipun tidak memaafkannya juga hak keluarga tersebut. Namun hikmah Allah di atas segalanya, keluarga korban tidak mau memaafkan pembunuh itu, mereka bersikukuh agar Hakim menjatuhkan hukum 'Qishash' kepada orang itu, sehingga tidak ada lagi korban berikutnya. Subhanallah.
Dari kisah ini dapat kita petik pelajaran bahwa setiap amalan akan diganjar di dunia sebelum di akhirat kelak, entah itu amalan baik maupun buruk. Sungguh benar apa yang difirmankan Allah Ta’ala, “Maka maafkanlah dan berlapang dadalah, sampai Allah memberikan perintah-Nya. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah : 109)
Minggu, 23 Agustus 2015
Wara Menguntungkan
Abdullah ibn Al Mubarak suatu hari berkata, "Aku akan mengerjakan perbuatan yang akan membuatku mulia."
Ia lalu menuntut ilmu hingga menjadi seorang yang 'alim. Waktu ia memasuki kota Madinah, masyarakat berbondong-bondong menyambutnya hingga hampir-hampir saja mereka saling bunuh membunuh karena berdesak-desakan.
Ibu suri raja yang kebetulan menyaksikan kejadian itu bertanya, "Siapakah orang yang datang ke kota kita ini ?"
"Ia adalah salah seorang 'Ulama Islam," jawab pelayannya.
Ia kemudian berkata kepada anaknya, "Perhatikanlah, bagaimana masyarakat berbondong-bondong mendatanginya. Raja yang satu ini tidak seperti kamu. Kamu, jika menginginkan sesuatu, harus memerintah seseorang untuk melakukannya. Tetapi, mereka mendatanginya dengan sukarela."
Abdullah ibn Al Mubarak sesungguhnya adalah anak seorang budak berkulit hitam bernama Mubarak. Budak ini betisnya kecil, bibirnya tebal dan telapak kakinya pecah-pecah. Walaupun demikian, ia adalah seorang yang sangat wara`. Kewara'annya ini akhirnya membuahkan anak yang shaleh. Mubarak bekerja sebagai penjaga kebun. Suatu hari tuannya datang ke kebun.
"Mubarak, petikkan aku anggur yang manis," perintah tuannya.
Mubarak pergi sebentar lalu kembali membawa anggur dan menyerahkannya kepada tuannya.
"Mubarak, anggur ini masam rasanya, tolong carikan yang manis !" kata tuannya setelah memakan anggur itu.
Mubarak segera pergi, tak lama kemudian ia kembali dengan anggur lain. Anggur itu dimakan oleh tuannya.
"Bagaimana kamu ini, aku suruh petik anggur yang manis, tapi lagi-lagi kamu memberiku anggur masam, padahal kamu telah dua tahun tinggal di kebun ini," tegur tuannya dengan perasaan kesal.
"Tuanku, aku tidak bisa membedakan anggur yang manis dengan yang masam, karena kamu mempekerjakan aku di kebun ini hanya sebagai penjaga. Sejak tinggal di sini aku belum pernah merasakan sebutir anggur pun, bagaimana mungkin aku dapat membedakan yang manis dari yang masam ?" jawabnya.
Tuannya tertegun mendengar jawaban Mubarak. Ia seakan-akan memikirkan sesuatu. Kemudian pulanglah ia ke rumah. Pemilik kebun itu memiliki seorang anak gadis. Banyak pedagang kaya telah melamar anak gadisnya.
Sesampainya dirumah, ia berkata kepada istrinya, "Aku telah menemukan calon suami anak kita."
"Siapa dia ?" tanya istrinya.
"Mubarak, budak yang menjaga kebun."
"Bagaimana kamu ini ?! Masa puteri kita hendak kamu nikahkan dengan seorang budak hitam yang tebal bibirnya. Kalau pun kita rela, belum tentu anak kita sudi menikah dengan budak itu."
"Coba saja sampaikan maksudku ini kepadanya, aku lihat budak itu sangat wara' dan takut kepada Allah."
Kemudian sang istri pergi menemui anak gadisnya, "Ayahmu akan menikahkanmu dengan seorang budak bernama Mubarak. Aku datang untuk meminta persetujuanmu."
"Ibu, jika kalian berdua telah setuju, aku pun setuju. Siapakah yang mampu memperhatikanku lebih tulus daripada kedua orang tuaku ? Lalu mengapa aku harus tidak setuju ?"
Sang ayah yang kaya raya itu kemudian menikahkan anak gadisnya dengan Mubarak. Dari pernikahan ini, lahirlah Abdullah bin Mubarak.
Jangan sekali-kali berpikir bahwa orang yang sempurna adalah orang yang mengenakan imamah terbaik dan pakaian mewah. Akan tetapi orang yang sempurna adalah yang menjauhi maksiat, beramal shaleh, dan menuntut ilmu dengan penuh adab, karena ilmu akan menuntun pemiliknya mencapai kemuliaan.
Ia lalu menuntut ilmu hingga menjadi seorang yang 'alim. Waktu ia memasuki kota Madinah, masyarakat berbondong-bondong menyambutnya hingga hampir-hampir saja mereka saling bunuh membunuh karena berdesak-desakan.
Ibu suri raja yang kebetulan menyaksikan kejadian itu bertanya, "Siapakah orang yang datang ke kota kita ini ?"
"Ia adalah salah seorang 'Ulama Islam," jawab pelayannya.
Ia kemudian berkata kepada anaknya, "Perhatikanlah, bagaimana masyarakat berbondong-bondong mendatanginya. Raja yang satu ini tidak seperti kamu. Kamu, jika menginginkan sesuatu, harus memerintah seseorang untuk melakukannya. Tetapi, mereka mendatanginya dengan sukarela."
Abdullah ibn Al Mubarak sesungguhnya adalah anak seorang budak berkulit hitam bernama Mubarak. Budak ini betisnya kecil, bibirnya tebal dan telapak kakinya pecah-pecah. Walaupun demikian, ia adalah seorang yang sangat wara`. Kewara'annya ini akhirnya membuahkan anak yang shaleh. Mubarak bekerja sebagai penjaga kebun. Suatu hari tuannya datang ke kebun.
"Mubarak, petikkan aku anggur yang manis," perintah tuannya.
Mubarak pergi sebentar lalu kembali membawa anggur dan menyerahkannya kepada tuannya.
"Mubarak, anggur ini masam rasanya, tolong carikan yang manis !" kata tuannya setelah memakan anggur itu.
Mubarak segera pergi, tak lama kemudian ia kembali dengan anggur lain. Anggur itu dimakan oleh tuannya.
"Bagaimana kamu ini, aku suruh petik anggur yang manis, tapi lagi-lagi kamu memberiku anggur masam, padahal kamu telah dua tahun tinggal di kebun ini," tegur tuannya dengan perasaan kesal.
"Tuanku, aku tidak bisa membedakan anggur yang manis dengan yang masam, karena kamu mempekerjakan aku di kebun ini hanya sebagai penjaga. Sejak tinggal di sini aku belum pernah merasakan sebutir anggur pun, bagaimana mungkin aku dapat membedakan yang manis dari yang masam ?" jawabnya.
Tuannya tertegun mendengar jawaban Mubarak. Ia seakan-akan memikirkan sesuatu. Kemudian pulanglah ia ke rumah. Pemilik kebun itu memiliki seorang anak gadis. Banyak pedagang kaya telah melamar anak gadisnya.
Sesampainya dirumah, ia berkata kepada istrinya, "Aku telah menemukan calon suami anak kita."
"Siapa dia ?" tanya istrinya.
"Mubarak, budak yang menjaga kebun."
"Bagaimana kamu ini ?! Masa puteri kita hendak kamu nikahkan dengan seorang budak hitam yang tebal bibirnya. Kalau pun kita rela, belum tentu anak kita sudi menikah dengan budak itu."
"Coba saja sampaikan maksudku ini kepadanya, aku lihat budak itu sangat wara' dan takut kepada Allah."
Kemudian sang istri pergi menemui anak gadisnya, "Ayahmu akan menikahkanmu dengan seorang budak bernama Mubarak. Aku datang untuk meminta persetujuanmu."
"Ibu, jika kalian berdua telah setuju, aku pun setuju. Siapakah yang mampu memperhatikanku lebih tulus daripada kedua orang tuaku ? Lalu mengapa aku harus tidak setuju ?"
Sang ayah yang kaya raya itu kemudian menikahkan anak gadisnya dengan Mubarak. Dari pernikahan ini, lahirlah Abdullah bin Mubarak.
Jangan sekali-kali berpikir bahwa orang yang sempurna adalah orang yang mengenakan imamah terbaik dan pakaian mewah. Akan tetapi orang yang sempurna adalah yang menjauhi maksiat, beramal shaleh, dan menuntut ilmu dengan penuh adab, karena ilmu akan menuntun pemiliknya mencapai kemuliaan.
Jumat, 21 Agustus 2015
Sifat Baik Itu Masih Ada di antara Kaum Muslimin
Suatu hari, 'Umar ibn Al Khattab sedang duduk di bawah sebatang kurma. Serbannya dilepas, sehingga menampakkan kepala yang rambutnya mulai teripis di beberapa bagian. Di atas kerikil dia duduk, dengan cemeti imaratnya tergeletak di samping tumpuan lengan. Di hadapannya, para pemuka shahabat bertukar pikiran dan membahas berbagai persoalan.
Di dalam halaqah tersebut, ada seorang anak muda yang tampak menonjol. Abdullah ibn ‘Abbas namanya. Berulangkali Khalifah 'Umar memintanya bicara. Jika terdapat perbedaan pendapat, 'Umar hampir selalu bersetuju dengan Ibnu 'Abbas. Ada juga Salman Al Farisi yang tekun menyimak. Ada juga Abu Dzar Al Ghifari yang sesekali bicara berapi-api.
Tiba-tiba pembicaraan mereka terjeda, dengan kedatangan dua orang pemuda yang berwajah mirip dengan mengapit seorang Pemuda lain yang mereka cekal lengannya.
“Wahai Amirul Mukminin” ujar salah seorang dari mereka. ”Tegakkanlah hukum Allah atas pembunuh Ayah kami ini !“
Khalifah 'Umar bangkit dan berkata, “Takutlah kalian kepada Allah !” ujar 'Umar. “Perkara apakah ini ?”
Kedua pemuda itu menegaskan bahwa Pemuda yang mereka bawa ini adalah pembunuh ayah mereka. Mereka siap mendatangkan saksi dan bahkan menyatakan bahwa si pelaku ini telah mengaku.
'Umar bertanya kepada sang tertuduh, “Benarkah apa yang mereka dakwakan kepadamu ini ?”
“Benar wahai Amirul Mukminin !” jawab sang Pemuda tersebut.
“Engkau tidak menyangkal dan di wajahmu kulihat ada sesal !” 'Umar menyelidik dengan teliti. "Ceritakanlah kejadiannya !”
“Aku datang dari negeri yang jauh” kata Pemuda itu. “Begitu sampai di kota ini, aku tambatkan kudaku di sebuah pohon dekat kebun milik keluarga mereka. Ku tingggalkan ia sejenak untuk mengurus suatu hajat tanpa aku tahu ternyata kudaku mulai makan sebagian tanaman yang ada di kebun mereka”
“Saat aku kembali” lanjutnya sembari menghela nafas, ”Kulihat seorang lelaki tua yang kemudian aku tahu adalah ayah dari kedua pemuda ini sedang memukul kepala kudaku dengan batu hingga hewan malang itu tewas mengenaskan. Melihat kejadian itu, aku dibakar amarah dan kuhunus pedang. Aku khilaf, aku telah membunuh lelaki tua itu. Aku memohon ampun kepada Allah karenanya” mendengar cerita tersebut Khalifah 'Umar termenung.
“Wahai Amirul Mukminin” kata salah satu dari kedua adik beradik itu, “Tegakkanlah hukum Allah. Kami minta qishash atas orang ini. Jiwa dibayar jiwa”
'Umar melihat ke arah pemuda tertuduh itu. Usianya masih sangat muda. Pantas saja dia mudah dibakar hawa amarah. Tapi sangat jelas bahwa wajahnya teduh. Akhlaknya santun. Gurat-gurat sesal tampak jelas membayang di air mukanya. 'Umar iba dan merasa alangkah sia-sianya jika anak muda penuh adab dan berhati lembut ini harus mati begitu pagi.
“Bersediakah kalian” ucap 'Umar ke arah dua pemuda penuntut qishash, ”Menerima pembayaran diyat dariku atas pemuda ini dan memaafkannya ?”
Kemudian dua Pemuda itu saling pandang, ”Demi Allah, wahai Amirul Mukminin” jawab mereka. “Sungguh kami sangat mencintai ayah kami. Dia telah membesarkan kami dengan penuh cinta. Keberadaannya di tengah kami takkan terbayar dan takkan terganti dengan diyat sebesar apapun. Hati kami baru tenteram jika had ditegakkan !”
'Umar terhenyak, “Bagaimana menurutmu ?” tanyanya kepada pemuda sang terdakwa.
“Aku ridha hukum Allah ditegakkan ke atasku, wahai Amirul Mukminin” kata si Pemuda dengan yakin.
“Namun ada beberapa hal yang menghalangiku untuk sementara ini. Ada amanah dari kaumku atas beberapa benda maupun perkara yang harus aku sampaikan kepada mereka. Demikian juga keluargaku. Aku bekerja untuk menafkahi mereka. Hasil jerih payah di perjalanan terakhirku ini harus aku serahkan pada mereka, juga memohon ridha dan keampunan ayah dan ibuku”
'Umar terenyuh. Tak ada jalan lain, hudud harus ditegakkan. tetapi Pemuda itu juga memiliki amanah yang harus ditunaikan.
“Jadi bagaimana ?” tanya 'Umar.
“Jika engkau mengizinkanku, wahai Amirul Mukminin, aku minta waktu tiga hari untuk kembali ke daerah asalku guna menunaikan segala amanah itu. Demi Allah, aku pasti kembali di hari ketiga untuk menetapi hukumanku. Saat itu, tegakkanlah had untukku tanpa ragu, wahai Putra Al Khattab."
"Adakah orang yang bisa menjaminmu ?"
"Aku tidak memiliki seorang pun yang ku kenal di kota ini, hingga dia bisa kuminta menjadi penjaminku. Aku tak memilki seorang pun penjamin kecuali Allah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat"
"Tidak ! Demi Allah, tetap harus ada seseorang yang menjaminmu atau aku tak mengizinkanmu pergi"
"Aku bersumpah dengan nama Allah yang amat keras ‘adzabnya. Aku takkan menyalahi janjiku"
"Aku percaya. Tetapi tetap harus ada seorang manusia yang menjaminmu !"
“Aku tak punya !”
“Wahai Amirul Mukminin !” terdengar sebuah suara yang berat dan berwibawa menyela. “Jadikan aku sebagai penjamin anak muda ini dan biarkanlah dia menunaikan amanahnya !”
Inilah dia Salman Al Farisi yang tampil mengajukan diri.
"Engkau hai Salman, bersedia menjamin anak muda ini ?”
"Benar, aku bersedia !”
"Kalian berdua adik beradik yang mengajukan gugatan," panggil 'Umar, "Apakah kalian bersedia menerima penjaminan dari Salman Al Farisi atas orang yang telah membunuh ayah kalian ini ?? Adapun Salman demi Allah, aku bersaksi tentang dirinya bahwa dia lelaki ksatria yang jujur dan tak sudi berkhianat."
Kedua Pemuda itu saling pandang, “Kami menerima,” kata mereka nyaris serentak.
Waktu tiga hari yang disediakan untuk sang terhukum nyaris habis. 'Umar gelisah tak karuan. Dia mondar-mandir, sementara Salman duduk khusyu’ di dekatnya. Salman tampak begitu tenang padahal jiwanya sedang berada di ujung tanduk. Andai lelaki Pembunuh itu tak datang memenuhi janjinya, maka dirinyalah selaku Penjamin yang akan menggantikan tempat sang terpidana untuk menerima qishash.
Waktu terus melaju. Dan, Pemuda itu masih belum muncul.
Kota Madinah mulai terasa kelabu. Para Sahabat berkumpul mendatangi 'Umar dan Salman. Demi Allah, mereka keberatan jika Salman harus dibunuh sebagai badal (pengganti). Mereka sungguh tak ingin kehilangan sahabat yang pengorbanannya untuk Islam begitu besar itu. Salman seorang sahabat yang tulus dan rendah hati. Dia dihormati. Dia dicintai.
Satu demi satu dimulai dengan Abu Darda’ dan beberapa sahabat lainnya, mereka mengajukan diri sebagai pengganti Salman jika hukuman benar-benar dijatuhkan kepadanya. Tetapi Salman menolak. 'Umar pun juga menggeleng. Matahari terus lingsir ke barat. Dan Kekhawatiran 'Umar pun semakin memuncak. Para sahabat makin kalut dan sedih.
Hanya beberapa saat menjelang habisnya batas waktu, tampak seseorang datang dengan berlari tertatih dan terseok-seok. Dialah Pemuda itu, Sang Terhukum.
"Maafkan aku," ujarnya dengan senyum tulus sembari menyeka keringat yang membasahi sekujur wajah, “Urusan untuk kaumku itu ternyata berbelit-belit dan rumit. Sementara untaku tak sempat beristirahat. Ia kelelahan nyaris sekarat dan terpaksa ku tinggalkan di tengah jalan. Aku harus berlari-lari untuk sampai ke mari hingga nyaris terlambat."
Semua yang melihat wajah dan penampilan pemuda ini, merasakan satu sergapan iba. Semua yang mendengar penuturannya merasakan keharuan yang mendesak-desak. Semua tiba-tiba merasa tak rela jika sang Pemuda harus berakhir hidupnya di hari itu.
"Pemuda yang jujur," ujar 'Umar dengan mata berkaca-kaca, “Mengapa kau datang kembali padahal bagimu masih ada kesempatan untuk lari dan tak harus mati menanggung qishash ?"
"Sungguh, jangan sampai ada orang yang mengatakan,” kata Pemuda itu sambil tersenyum ikhlas, “Tak ada lagi orang yang menepati janji. Dan jangan sampai ada yang mengatakan, tak ada lagi kejujuran hati di kalangan kaum Muslimin."
"Dan kau Salman ?" kata 'Umar bergetar, “Untuk apa kau susah-susah menjadikan dirimu penanggung kesalahan dari orang yang tak kau kenal sama sekali ? Bagaimana kau bisa mempercayainya ?”
“Sungguh, jangan sampai ada orang yang bicara,” ujar Salman dengan wajah yang teguh, "Bahwa tak ada lagi orang yang mau saling membagi beban dengan saudaranya. Atau jangan sampai ada yang merasa, tak ada lagi rasa saling percaya di antara kaum Muslimin."
“Allahu Akbar !” kata 'Umar, “Segala puji bagi Allah. Kalian telah membesarkan hati umat ini dengan kemuliaan sikap dan agungnya iman kalian. Tetapi bagaimanapun wahai Pemuda, had untukmu harus kami tegakkan !"
Pemuda itu mengangguk pasrah.
“Kami memutuskan…” kata salah seorang dari kakak-beradik penggugat tiba-tiba menyeruak.
“Untuk memaafkannya,” mereka tersedu sedan. “Kami melihatnya sebagai seorang yang berbudi dan menepati janji. Demi Allah, pasti benar-benar sebuah kekhilafan yang tak disengaja jika dia sampai membunuh ayah kami. Dia telah menyesal dan beristighfar kepada Allah atas dosanya. Kami memaafkannya. Janganlah menghukumnya, wahai Amirul Mukminin.“
“Alhamdulillah ! Alhamdulillah !” ujar 'Umar. Pemuda terhukum itu sujud syukur.
Salman tak ketinggalan menyungkurkan wajahnya ke arah kiblat mengagungkan Asma' Allah, yang kemudian bahkan diikuti oleh semua hadirin.
“Mengapa kalian tiba-tiba berubah pikiran ?” tanya 'Umar pada kedua ahli waris korban.
“Agar jangan sampai ada yang mengatakan,” jawab mereka masih terharu, “Bahwa di kalangan kaum Muslimin tak ada lagi kemaafan, pengampunan, iba hati dan kasih sayang.“
Di dalam halaqah tersebut, ada seorang anak muda yang tampak menonjol. Abdullah ibn ‘Abbas namanya. Berulangkali Khalifah 'Umar memintanya bicara. Jika terdapat perbedaan pendapat, 'Umar hampir selalu bersetuju dengan Ibnu 'Abbas. Ada juga Salman Al Farisi yang tekun menyimak. Ada juga Abu Dzar Al Ghifari yang sesekali bicara berapi-api.
Tiba-tiba pembicaraan mereka terjeda, dengan kedatangan dua orang pemuda yang berwajah mirip dengan mengapit seorang Pemuda lain yang mereka cekal lengannya.
“Wahai Amirul Mukminin” ujar salah seorang dari mereka. ”Tegakkanlah hukum Allah atas pembunuh Ayah kami ini !“
Khalifah 'Umar bangkit dan berkata, “Takutlah kalian kepada Allah !” ujar 'Umar. “Perkara apakah ini ?”
Kedua pemuda itu menegaskan bahwa Pemuda yang mereka bawa ini adalah pembunuh ayah mereka. Mereka siap mendatangkan saksi dan bahkan menyatakan bahwa si pelaku ini telah mengaku.
'Umar bertanya kepada sang tertuduh, “Benarkah apa yang mereka dakwakan kepadamu ini ?”
“Benar wahai Amirul Mukminin !” jawab sang Pemuda tersebut.
“Engkau tidak menyangkal dan di wajahmu kulihat ada sesal !” 'Umar menyelidik dengan teliti. "Ceritakanlah kejadiannya !”
“Aku datang dari negeri yang jauh” kata Pemuda itu. “Begitu sampai di kota ini, aku tambatkan kudaku di sebuah pohon dekat kebun milik keluarga mereka. Ku tingggalkan ia sejenak untuk mengurus suatu hajat tanpa aku tahu ternyata kudaku mulai makan sebagian tanaman yang ada di kebun mereka”
“Saat aku kembali” lanjutnya sembari menghela nafas, ”Kulihat seorang lelaki tua yang kemudian aku tahu adalah ayah dari kedua pemuda ini sedang memukul kepala kudaku dengan batu hingga hewan malang itu tewas mengenaskan. Melihat kejadian itu, aku dibakar amarah dan kuhunus pedang. Aku khilaf, aku telah membunuh lelaki tua itu. Aku memohon ampun kepada Allah karenanya” mendengar cerita tersebut Khalifah 'Umar termenung.
“Wahai Amirul Mukminin” kata salah satu dari kedua adik beradik itu, “Tegakkanlah hukum Allah. Kami minta qishash atas orang ini. Jiwa dibayar jiwa”
'Umar melihat ke arah pemuda tertuduh itu. Usianya masih sangat muda. Pantas saja dia mudah dibakar hawa amarah. Tapi sangat jelas bahwa wajahnya teduh. Akhlaknya santun. Gurat-gurat sesal tampak jelas membayang di air mukanya. 'Umar iba dan merasa alangkah sia-sianya jika anak muda penuh adab dan berhati lembut ini harus mati begitu pagi.
“Bersediakah kalian” ucap 'Umar ke arah dua pemuda penuntut qishash, ”Menerima pembayaran diyat dariku atas pemuda ini dan memaafkannya ?”
Kemudian dua Pemuda itu saling pandang, ”Demi Allah, wahai Amirul Mukminin” jawab mereka. “Sungguh kami sangat mencintai ayah kami. Dia telah membesarkan kami dengan penuh cinta. Keberadaannya di tengah kami takkan terbayar dan takkan terganti dengan diyat sebesar apapun. Hati kami baru tenteram jika had ditegakkan !”
'Umar terhenyak, “Bagaimana menurutmu ?” tanyanya kepada pemuda sang terdakwa.
“Aku ridha hukum Allah ditegakkan ke atasku, wahai Amirul Mukminin” kata si Pemuda dengan yakin.
“Namun ada beberapa hal yang menghalangiku untuk sementara ini. Ada amanah dari kaumku atas beberapa benda maupun perkara yang harus aku sampaikan kepada mereka. Demikian juga keluargaku. Aku bekerja untuk menafkahi mereka. Hasil jerih payah di perjalanan terakhirku ini harus aku serahkan pada mereka, juga memohon ridha dan keampunan ayah dan ibuku”
'Umar terenyuh. Tak ada jalan lain, hudud harus ditegakkan. tetapi Pemuda itu juga memiliki amanah yang harus ditunaikan.
“Jadi bagaimana ?” tanya 'Umar.
“Jika engkau mengizinkanku, wahai Amirul Mukminin, aku minta waktu tiga hari untuk kembali ke daerah asalku guna menunaikan segala amanah itu. Demi Allah, aku pasti kembali di hari ketiga untuk menetapi hukumanku. Saat itu, tegakkanlah had untukku tanpa ragu, wahai Putra Al Khattab."
"Adakah orang yang bisa menjaminmu ?"
"Aku tidak memiliki seorang pun yang ku kenal di kota ini, hingga dia bisa kuminta menjadi penjaminku. Aku tak memilki seorang pun penjamin kecuali Allah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat"
"Tidak ! Demi Allah, tetap harus ada seseorang yang menjaminmu atau aku tak mengizinkanmu pergi"
"Aku bersumpah dengan nama Allah yang amat keras ‘adzabnya. Aku takkan menyalahi janjiku"
"Aku percaya. Tetapi tetap harus ada seorang manusia yang menjaminmu !"
“Aku tak punya !”
“Wahai Amirul Mukminin !” terdengar sebuah suara yang berat dan berwibawa menyela. “Jadikan aku sebagai penjamin anak muda ini dan biarkanlah dia menunaikan amanahnya !”
Inilah dia Salman Al Farisi yang tampil mengajukan diri.
"Engkau hai Salman, bersedia menjamin anak muda ini ?”
"Benar, aku bersedia !”
"Kalian berdua adik beradik yang mengajukan gugatan," panggil 'Umar, "Apakah kalian bersedia menerima penjaminan dari Salman Al Farisi atas orang yang telah membunuh ayah kalian ini ?? Adapun Salman demi Allah, aku bersaksi tentang dirinya bahwa dia lelaki ksatria yang jujur dan tak sudi berkhianat."
Kedua Pemuda itu saling pandang, “Kami menerima,” kata mereka nyaris serentak.
_____ *** _____
Waktu tiga hari yang disediakan untuk sang terhukum nyaris habis. 'Umar gelisah tak karuan. Dia mondar-mandir, sementara Salman duduk khusyu’ di dekatnya. Salman tampak begitu tenang padahal jiwanya sedang berada di ujung tanduk. Andai lelaki Pembunuh itu tak datang memenuhi janjinya, maka dirinyalah selaku Penjamin yang akan menggantikan tempat sang terpidana untuk menerima qishash.
Waktu terus melaju. Dan, Pemuda itu masih belum muncul.
Kota Madinah mulai terasa kelabu. Para Sahabat berkumpul mendatangi 'Umar dan Salman. Demi Allah, mereka keberatan jika Salman harus dibunuh sebagai badal (pengganti). Mereka sungguh tak ingin kehilangan sahabat yang pengorbanannya untuk Islam begitu besar itu. Salman seorang sahabat yang tulus dan rendah hati. Dia dihormati. Dia dicintai.
Satu demi satu dimulai dengan Abu Darda’ dan beberapa sahabat lainnya, mereka mengajukan diri sebagai pengganti Salman jika hukuman benar-benar dijatuhkan kepadanya. Tetapi Salman menolak. 'Umar pun juga menggeleng. Matahari terus lingsir ke barat. Dan Kekhawatiran 'Umar pun semakin memuncak. Para sahabat makin kalut dan sedih.
Hanya beberapa saat menjelang habisnya batas waktu, tampak seseorang datang dengan berlari tertatih dan terseok-seok. Dialah Pemuda itu, Sang Terhukum.
"Maafkan aku," ujarnya dengan senyum tulus sembari menyeka keringat yang membasahi sekujur wajah, “Urusan untuk kaumku itu ternyata berbelit-belit dan rumit. Sementara untaku tak sempat beristirahat. Ia kelelahan nyaris sekarat dan terpaksa ku tinggalkan di tengah jalan. Aku harus berlari-lari untuk sampai ke mari hingga nyaris terlambat."
Semua yang melihat wajah dan penampilan pemuda ini, merasakan satu sergapan iba. Semua yang mendengar penuturannya merasakan keharuan yang mendesak-desak. Semua tiba-tiba merasa tak rela jika sang Pemuda harus berakhir hidupnya di hari itu.
"Pemuda yang jujur," ujar 'Umar dengan mata berkaca-kaca, “Mengapa kau datang kembali padahal bagimu masih ada kesempatan untuk lari dan tak harus mati menanggung qishash ?"
"Sungguh, jangan sampai ada orang yang mengatakan,” kata Pemuda itu sambil tersenyum ikhlas, “Tak ada lagi orang yang menepati janji. Dan jangan sampai ada yang mengatakan, tak ada lagi kejujuran hati di kalangan kaum Muslimin."
"Dan kau Salman ?" kata 'Umar bergetar, “Untuk apa kau susah-susah menjadikan dirimu penanggung kesalahan dari orang yang tak kau kenal sama sekali ? Bagaimana kau bisa mempercayainya ?”
“Sungguh, jangan sampai ada orang yang bicara,” ujar Salman dengan wajah yang teguh, "Bahwa tak ada lagi orang yang mau saling membagi beban dengan saudaranya. Atau jangan sampai ada yang merasa, tak ada lagi rasa saling percaya di antara kaum Muslimin."
“Allahu Akbar !” kata 'Umar, “Segala puji bagi Allah. Kalian telah membesarkan hati umat ini dengan kemuliaan sikap dan agungnya iman kalian. Tetapi bagaimanapun wahai Pemuda, had untukmu harus kami tegakkan !"
Pemuda itu mengangguk pasrah.
“Kami memutuskan…” kata salah seorang dari kakak-beradik penggugat tiba-tiba menyeruak.
“Untuk memaafkannya,” mereka tersedu sedan. “Kami melihatnya sebagai seorang yang berbudi dan menepati janji. Demi Allah, pasti benar-benar sebuah kekhilafan yang tak disengaja jika dia sampai membunuh ayah kami. Dia telah menyesal dan beristighfar kepada Allah atas dosanya. Kami memaafkannya. Janganlah menghukumnya, wahai Amirul Mukminin.“
“Alhamdulillah ! Alhamdulillah !” ujar 'Umar. Pemuda terhukum itu sujud syukur.
Salman tak ketinggalan menyungkurkan wajahnya ke arah kiblat mengagungkan Asma' Allah, yang kemudian bahkan diikuti oleh semua hadirin.
“Mengapa kalian tiba-tiba berubah pikiran ?” tanya 'Umar pada kedua ahli waris korban.
“Agar jangan sampai ada yang mengatakan,” jawab mereka masih terharu, “Bahwa di kalangan kaum Muslimin tak ada lagi kemaafan, pengampunan, iba hati dan kasih sayang.“
Toko Pendamping Hidup
Toko pendamping Hidup adalah toko dimana pria maupun wanita dapat memilih pasangan untuk dijadikan sebagai pendamping hidupnya. Toko tersebut terdiri dari 6 lantai dimana setiap lantainya terdapat kelompok calon pendamping hidup.
Diantara instruksi-instruksi yang ada di pintu masuk tiap lantainya, terdapat instruksi yang menunjukkan bagaimana aturan main untuk masuk ke toko tersebut :
"Kamu hanya dapat mengunjungi toko ini SATU KALI !"
Semakin tinggi lantainya, semakin tinggi pula nilai pendamping hidup tersebut. Kamu dapat memilih pendamping hidup di lantai tertentu atau lebih memilih ke lantai berikutnya, tapi dengan syarat kamu tidak bisa turun lagi ke lantai sebelumnya kecuali untuk keluar dari toko.
Lalu, seorang pria pun pergi ke "TOKO PENDAMPING HIDUP" tersebut untuk mencari istri.
Di setiap lantai terdapat tulisan seperti berikut :
Lantai 1
"Wanita di lantai ini adalah seorang yang Sholehah dan pandai memasak."
Pria itu hanya tersenyum dan kemudian naik ke lantai selanjutnya.
Lantai 2
"Wanita di lantai ini seorang yang Sholehah, pandai memasak dan lemah lembut."
Pria itu kembali tersenyum lalu naik ke lantai selanjutnya.
Lantai 3
"Wanita di lantai ini seorang yang Sholehah, pandai memasak, lemah lembut dan cantik."
"WOW !", ujar sang Pria, ia menjadi penasaran dengan lantai selanjutnya dan terus naik.
Lantai 4
"Wanita di lantai ini seorang yang Sholehah, pandai memasak, lemah lembut, cantik banget dan sayang anak."
"Ya ampun !" Dia berseru, "Aku hampir tak percaya !" karena semakin penasaran, dengan penuh semangat dia melanjutkan ke lantai selanjutnya.
Lantai 5
"Wanita di lantai ini seorang yang Sholehah, pandai memasak, lemah lembut, cantik banget, sayang anak dan sexy."
Dia tergoda untuk berhenti tapi kemudian dia melangkah ke lantai 6 dan menemukan tulisan...
Anda adalah pengunjung yang ke 4.212.196.818 ....
Tidak ada wanita di lantai ini
Lantai ini hanya semata-mata pembuktian untuk orang-orang yang tidak pernah puas,.
Tidak ada wanita di lantai ini
Lantai ini hanya semata-mata pembuktian untuk orang-orang yang tidak pernah puas,.
Terima kasih telah berbelanja di "TOKO PENDAMPING HIDUP"
Mohon hati-hati ketika keluar dari sini. Kami mengucapkan terima kasih.
Pesan moral ini bukan hanya untuk pria saja tetapi juga untuk wanita :
Syukurilah atas pasangan yang sudah Allah sediakan untukmu
Pasangan yang Allah berikan adalah yang terbaik untukmu
Cintai pasanganmu apa adanya
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya
Karena tidak ada satupun manusia yang sempurna
Pasangan yang Allah berikan adalah yang terbaik untukmu
Cintai pasanganmu apa adanya
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya
Karena tidak ada satupun manusia yang sempurna
Semoga Bermanfaat
Jendela Kereta Api
Hari itu, di kereta api terdapat seorang pemuda bersama ayahnya. Pemuda itu cukup dewasa, sekitar berusia 24 tahun.
Di dalam kereta, pemuda itu memandang keluar jendela kereta, lalu berkata pada Ayahnya, "Ayah lihat, pohon-pohon itu sedang berlarian"
Sepasang anak muda duduk berdekatan. Keduanya melihat pemuda 24 tahun tadi dengan kasihan. Bagaimana tidak, untuk seukuran seusianya, kelakuan pemuda itu tampak begitu kekanak kanakan.
Namun seolah tidak peduli, si pemuda tadi tiba-tiba berkata lagi dengan antusiasnya, "Ayah lihatlah, awan itu sepertinya sedang mengikuti kita"
Kedua pasangan muda itu tampak tak sabar, lalu berkata kepada sang Ayah dari pemuda itu, "Kenapa Anda tidak membawa putra Anda itu ke seorang dokter yang bagus ?"
Sang Ayah hanya tersenyum, lalu berkata, "Sudah saya bawa, dan sebenarnya kami ini baru saja pulang dari rumah sakit. Anak saya ini sebelumnya buta semenjak kecil, dan ia baru saja mendapatkan penglihatannya hari ini"
Kedua pasangan muda itu pun terdiam, ketika mendengar jawaban sang Ayah. Dalam hati kecil mereka, mereka bersyukur atas penglihatan yang telah diberikan kepada mereka selama ini. Dan mendo'akan kepada pemuda itu, mudah-mudahan ia selalu bergembira.
Di dalam kereta, pemuda itu memandang keluar jendela kereta, lalu berkata pada Ayahnya, "Ayah lihat, pohon-pohon itu sedang berlarian"
Sepasang anak muda duduk berdekatan. Keduanya melihat pemuda 24 tahun tadi dengan kasihan. Bagaimana tidak, untuk seukuran seusianya, kelakuan pemuda itu tampak begitu kekanak kanakan.
Namun seolah tidak peduli, si pemuda tadi tiba-tiba berkata lagi dengan antusiasnya, "Ayah lihatlah, awan itu sepertinya sedang mengikuti kita"
Kedua pasangan muda itu tampak tak sabar, lalu berkata kepada sang Ayah dari pemuda itu, "Kenapa Anda tidak membawa putra Anda itu ke seorang dokter yang bagus ?"
Sang Ayah hanya tersenyum, lalu berkata, "Sudah saya bawa, dan sebenarnya kami ini baru saja pulang dari rumah sakit. Anak saya ini sebelumnya buta semenjak kecil, dan ia baru saja mendapatkan penglihatannya hari ini"
Kedua pasangan muda itu pun terdiam, ketika mendengar jawaban sang Ayah. Dalam hati kecil mereka, mereka bersyukur atas penglihatan yang telah diberikan kepada mereka selama ini. Dan mendo'akan kepada pemuda itu, mudah-mudahan ia selalu bergembira.
----------********----------
Sahabat, setiap manusia di dunia ini memiliki ceritanya masing-masing. Jangan langsung kita men-judge seseorang sebelum kita mengenalnya dengan benar. Karena kebenaran boleh jadi mengejutkan kita.
Selalu berprasangka baik kepada setiap orang, karena itu yang diajarkan nabimu, dan itulah cara yang baik untuk menjalani kehidupan... :)
Gratis Sepanjang Masa
Suatu sore, seorang anak menghampiri Ibunya di dapur. Ia menyerahkan selembar kertas yang telah ditulisinya. Setelah sang Ibu mengeringkan tangannya dengan celemek, ia pun membaca tulisan itu dan inilah isinya :
- Untuk memotong rumput : Rp. 5.000
- Untuk membersihkan kamar tidur minggu ini : Rp. 5.000
- Untuk pergi ke toko disuruh Ibu : Rp. 3.000
- Untuk menjaga adik waktu Ibu belanja : Rp. 5.000
- Untuk membuang sampah : Rp. 1.000
- Untuk nilai yang bagus : Rp. 3.000
- Untuk membersihkan dan menyapu halaman : Rp. 3.000
Jadi hutang Ibu adalah : Rp. 25.000
Sang Ibu memandangai anaknya dengan penuh sayang. Berbagai kenangan terlintas dalam benak sang Ibu. Lalu ia mengambil pulpen, membalikkan kertasnya. Dan inilah yang ia tuliskan :
- Untuk sembilan bulan Ibu mengandung kamu : Gratis
- Untuk semua malam Ibu menemani kamu : Gratis
- Untuk semua mainan, makanan dan baju : Gratis
- Untuk membawamu ke dokter dan mengobati saat kamu sakit, serta mendo'akan kamu : Gratis
- Untuk semua saat susah dan air mata dalam mengurus kamu : Gratis
- Kalau dijumlahkan semua, harga cinta Ibu adalah : Gratis
Anakku.. dan kalau kamu menjumlahkan semuanya, akan kau dapatkan bahwa harga cinta Ibu adalahGRATIS
Seusai membaca apa yang ditulis Ibunya, sang Anak pun berlinang air mata dan menatap wajah Ibunya, dan berkata, "Bu, aku sayang sekali sama Ibu"
Ia kemudian mendekap Ibunya. Sang Ibu tersenyum sambil mencium rambut buah hatinya, "Ibupun sayang kamu nak" kata sang Ibu.
Kemudian sang anak mengambil pulpen dan menulis sebuah kata dengan huruf huruf besar sambil diperhatikan sang Ibu "LUNAS"
_______*****_______
Sahabat, seberapapun jasa yang telah kita berikan kepada Ibu, seberapapun uang yang kita dapatkan dan kita berikan kepada Ibu, atau seberapapun liter keringat kerja yang kita kumpulkan untuk Ibu, tidak akan dapat mengganti kasih sayang seorang Ibu. Kasih Ibu sepanjang masa. Dapatkah kita menukar kasih sayang Ibu itu dengan materi ? menukar dengan bilangan angka ? atau menukar dengan rangkaian terima kasih ?
Tidak sahabat, sama sekali tidak bisa. Oleh karenanya sahabatku, berbuat baiklah kepadanya, sayangilah beliau, cintailah beliau, dan do'akanlah beliau,...
Tidak sahabat, sama sekali tidak bisa. Oleh karenanya sahabatku, berbuat baiklah kepadanya, sayangilah beliau, cintailah beliau, dan do'akanlah beliau,...
Pesan Dari Sebuah Tulang
Sudah berhari-hari orang Yahudi itu berjalan menuju Madinah. Ia ingin menemui Khalifah Umar bin Khattab, Amirul Mukminin. Ia banyak mendengar kabar bahwa bahwa Amirul Mukminin seorang yang terkenal bersungguh-sungguh menegakkan keadilan. Jauh-jauh ia datang dari Mesir dengan sebuah harapan, Khalifah mau memperhatikan nasibnya yang tertindas.
Baru ketika matahari condong ke barat, ia tiba di Madinah. Walaupun badannya terasa letih, namun air mukanya tampak berseri. Ia gembira telah sampai di negeri Amirul Mukminin yang aman. Dengan tergopoh-gopoh, orang Yahudi itu memasuki halaman rumah Umar bin Khattab, lalu meminta izin pada prajurit yang sedang berjaga.
“Jangan-jangan, Khalifah tidak mau menerimaku” katanya dipenuhi rasa cemas. Ia menunggu di luar pintu. Prajurit masuk menemui Khalifah Umar.
“Wahai Amirul Mukminin, ada orang Yahudi ingin menghadap Tuan” sahut Prajurit.
“Bawalah ke hadapanku” perintah Khalifah.
Orang Yahudi pun masuk disertai pengawal. Ada ketenangan di hati orang Yahudi ketika melihat Khalifah yang begitu lembut dan perhatian. Bertambah terperanjat orang Yahudi itu, ternyata Amirul Mukminin menjamunya dengan aneka makanan dan minuman.
“Saat ini kau adalah tamuku, silahkan nikmati jamuannya” sambut Khalifah. 'Rupanya benar apa yang kudengar tentang Khalifah', kata orang Yahudi dalam hati.
Setelah dijamu layaknya tamu dari jauh, Khalifah meminta kepada orang Yahudi untuk menyampaikan maksud kedatangannya. “Ya Amirul Mukminin, saya ini orang miskin” kata orang Yahudi memulai pembicaraan. Amirul Mukminin mendengarkannya dengan penuh perhatian. “Di Mesir, kami punya sebidang tanah” lanjut orang Yahudi.
“Ya, lalu, ada apa ?” tanya Amirul Mukminin.
“Tanah itu satu-satunya milik saya yang sudah lama saya tinggali bersama anak dan istri saya. Tapi Gubernur mau membangun Masjid yang besar di daerah itu. Gubernur akan menggusur tanah dan rumah saya itu” tutur orang Yahudi sedih, matanya berkaca-kaca. “Kami yang sudah miskin ini mau pindah kemana ? Jika semua milik kami digusur oleh Gubernur ? Tolonglah saya yang lemah ini, saya minta keadilan dari Tuan” Orang Yahudi memohon dengan memelas.
“Oh, begitu ya ? Tanah dan rumahmu mau digusur oleh Gubernurku ?” kata Amirul Mukminin mengangguk-angguk.
Khalifah Umar tampak merenung. Ia sedang berpikir keras memecahkan masalah yang dihadapi orang Yahudi itu.
“Kau tidak bermaksud menjual rumah dan tanahmu, hai Yahudi ?” tanya Khalifah.
“Tidak !” orang Yahudi tersebut menggelengkan kepalanya.
“Sebab cuma itulah harta kami. Saya tidak rela melepasnya kepada siapapun” Orang Yahudi tetap pada pendiriannya.
“Baiklah, aku akan membantumu” kata Amirul Mukminin. Hati orang Yahudi itu merasa lega karena Amirul Mukminin mau membantu kesusahannya.
“Hai Yahudi” kata Khalifah kemudian. “Tolong ambilkan tulang di bak sampah itu !” perintahnya.
“Maaf, Tuan menyuruh saya mengambil tulang itu ?” tanya orang Yahudi ragu. Ia tidak mengerti untuk apa tulang yang sudah dibuang harus diambil lagi. Namun, ia menuruti juga perintah Khalifah.
“Ini tulangnya Tuan“ orang Yahudi menyerahkan tulang unta tersebut kepada Khalifah.
Lalu, Khalifah Umar membuat garis lurus dan gambar pedang pada tulang itu.
“Serahkan tulang ini pada Gubernur Mesir !” kata Amirul Mukminin lagi.
Orang Yahudi menatap tulang yang ada. Garis lurus dan gambar pedangnya itu. Ia merasa tidak puas.
Kedatangannya menghadap Khalifah untuk mendapat keadilan, tetapi Khalifah hanya memberinya tulang untuk diserahkan kepada Gubernur.
“Ya Amirul Mukminin, jauh-jauh saya datang minta tuan membereskan masalah saya, tapi tuan malah memberi tulang ini kepada Gubernur ?” sahut orang yahudi.
“Serahkan saja tulang itu !” jawab Khalifah pendek. Orang yahudi tidak membantah lagi. Iapun bertolak ke mesir dengan dipenuhi beribu pertanyaan dikepalanya.
“Aneh, Khalifah Umar menyuruhku untuk memberikan tulang ini pada Gubernur ?” gumamnya sepanjang perjalanan ke negerinya.
Setibanya di mesir, orang yahudi bergegas menuju kediaman Gubernur. “Wahai Tuan Gubernur, saya orang yahudi yang tanahnya akan kau gusur itu“ kata orang Yahudi tersebut.
“Oh kau rupanya, ada apa lagi ?” kata sang Gubernur.
“Saya baru saja menghadap Amirul Mukminin” kata orang yahudi.
“Lantas ada apa ?”
“Saya disuruh memberikan tulang ini” orang Yahudi itupun segera menyerahkan tulang unta ke tangan Gubernur.
Diperiksanya tulang itu baik-baik. Wajah Gubernur berubah pucat. Tubuhnya gemetar. Keringat dingin mengucur di dahinya ketika melihat gambar pada tulang itu. Sebuah garis lurus dan gambar pedang yang dibuat Khalifah Umar sudah membuat hati Gubernur ketakutan bukan main.
“Hai pengawal !” tiba-tiba ia berteriak keras.
“Serahkan tanah orang yahudi ini sekarang juga ! Batalkan rencana menggusur rumah dan tanahnya ! Kita cari tempat lain untuk membangun masjid” kata Gubernur.
Orang Yahudi itupun menjadi heran dibuatnya. Ia sungguh tidak mengerti dengan perubahan keputusan Gubernur yang akan mengembalikan tanah miliknya. Hanya dengan melihat tulang yang bergambar pedang dan garis lurus dari Khalifah tadi, Gubernur tampak sangat ketakutan.
“Hai Yahudi ! Sekarang juga kukembalikan tanah dan semua milikmu. Tinggallah engkau dan keluargamu disana sesuka hati” sahut Gubernur terbata-bata.
Pesan dalam tulang itu dirasakan Gubernur seakan-akan Khalifah Umar berada dihadapannya dengan wajah yang amat marah. Ya ! Gubernur merasa seolah-olah dicambuk dan ditebas lehernya oleh Amirul Mukminin.
“Tuan Gubernur ada apa sebenarnya ? Apa yang terjadi ? Kenapa tuan tampak ketakutan melihat tulang yang ada garis lurus dan gambar pedang itu ? Padahal Amirul Mukminin tidak mengatakan apa-apa ?” tanya orang Yahudi masih tak mengerti.
“Hai Yahudi, Tahukah engkau ? Sesungguhnya Amirul Mukminin sudah memberi peringatan keras padaku lewat tulang ini” kata Gubernur.
Orang Yahudi tersebut bertambah heran saja. "Sesungguhnya tulang ini membawa sebuah pesan peringatan. Garis lurus, artinya Khalifah Umar memintaku agar aku sungguh-sungguh menegakkan keadilan terhadap siapapun. Dan gambar Pedang, artinya kalau aku tidak berlaku adil, maka Khalifah akan bertindak. Aku harus menjadi penguasa yang adil sebelum aku yang menjadi tulang belulang” jawab Gubernur menceritakan isi pesan yang terkandung dalam tulang unta itu.
Kini orang Yahudi pun mengerti semuanya. Betapa ia sangat kagum kepada Amirul Mukminin yang sungguh-sungguh memperhatikan nasib orang tertindas seperti dirinya meskipun ia bukan dari kaum muslimin.
“Tuan Gubernur, saya sangat kagum pada Amirul Mukminin dan keadilan yang diberikan Pemerintah Islam. Karenanya, saya ingin menjadi orang Muslim. Saat ini saya rela melepaskan tanah itu karena Allah semata”
Tanpa ragu sedikitpun orang Yahudi itu langsung bersyahadat dan merelakan tanahnya untuk didirikan di atasnya sebuah masjid.
Baru ketika matahari condong ke barat, ia tiba di Madinah. Walaupun badannya terasa letih, namun air mukanya tampak berseri. Ia gembira telah sampai di negeri Amirul Mukminin yang aman. Dengan tergopoh-gopoh, orang Yahudi itu memasuki halaman rumah Umar bin Khattab, lalu meminta izin pada prajurit yang sedang berjaga.
“Jangan-jangan, Khalifah tidak mau menerimaku” katanya dipenuhi rasa cemas. Ia menunggu di luar pintu. Prajurit masuk menemui Khalifah Umar.
“Wahai Amirul Mukminin, ada orang Yahudi ingin menghadap Tuan” sahut Prajurit.
“Bawalah ke hadapanku” perintah Khalifah.
Orang Yahudi pun masuk disertai pengawal. Ada ketenangan di hati orang Yahudi ketika melihat Khalifah yang begitu lembut dan perhatian. Bertambah terperanjat orang Yahudi itu, ternyata Amirul Mukminin menjamunya dengan aneka makanan dan minuman.
“Saat ini kau adalah tamuku, silahkan nikmati jamuannya” sambut Khalifah. 'Rupanya benar apa yang kudengar tentang Khalifah', kata orang Yahudi dalam hati.
Setelah dijamu layaknya tamu dari jauh, Khalifah meminta kepada orang Yahudi untuk menyampaikan maksud kedatangannya. “Ya Amirul Mukminin, saya ini orang miskin” kata orang Yahudi memulai pembicaraan. Amirul Mukminin mendengarkannya dengan penuh perhatian. “Di Mesir, kami punya sebidang tanah” lanjut orang Yahudi.
“Ya, lalu, ada apa ?” tanya Amirul Mukminin.
“Tanah itu satu-satunya milik saya yang sudah lama saya tinggali bersama anak dan istri saya. Tapi Gubernur mau membangun Masjid yang besar di daerah itu. Gubernur akan menggusur tanah dan rumah saya itu” tutur orang Yahudi sedih, matanya berkaca-kaca. “Kami yang sudah miskin ini mau pindah kemana ? Jika semua milik kami digusur oleh Gubernur ? Tolonglah saya yang lemah ini, saya minta keadilan dari Tuan” Orang Yahudi memohon dengan memelas.
“Oh, begitu ya ? Tanah dan rumahmu mau digusur oleh Gubernurku ?” kata Amirul Mukminin mengangguk-angguk.
Khalifah Umar tampak merenung. Ia sedang berpikir keras memecahkan masalah yang dihadapi orang Yahudi itu.
“Kau tidak bermaksud menjual rumah dan tanahmu, hai Yahudi ?” tanya Khalifah.
“Tidak !” orang Yahudi tersebut menggelengkan kepalanya.
“Sebab cuma itulah harta kami. Saya tidak rela melepasnya kepada siapapun” Orang Yahudi tetap pada pendiriannya.
“Baiklah, aku akan membantumu” kata Amirul Mukminin. Hati orang Yahudi itu merasa lega karena Amirul Mukminin mau membantu kesusahannya.
“Hai Yahudi” kata Khalifah kemudian. “Tolong ambilkan tulang di bak sampah itu !” perintahnya.
“Maaf, Tuan menyuruh saya mengambil tulang itu ?” tanya orang Yahudi ragu. Ia tidak mengerti untuk apa tulang yang sudah dibuang harus diambil lagi. Namun, ia menuruti juga perintah Khalifah.
“Ini tulangnya Tuan“ orang Yahudi menyerahkan tulang unta tersebut kepada Khalifah.
Lalu, Khalifah Umar membuat garis lurus dan gambar pedang pada tulang itu.
“Serahkan tulang ini pada Gubernur Mesir !” kata Amirul Mukminin lagi.
Orang Yahudi menatap tulang yang ada. Garis lurus dan gambar pedangnya itu. Ia merasa tidak puas.
Kedatangannya menghadap Khalifah untuk mendapat keadilan, tetapi Khalifah hanya memberinya tulang untuk diserahkan kepada Gubernur.
“Ya Amirul Mukminin, jauh-jauh saya datang minta tuan membereskan masalah saya, tapi tuan malah memberi tulang ini kepada Gubernur ?” sahut orang yahudi.
“Serahkan saja tulang itu !” jawab Khalifah pendek. Orang yahudi tidak membantah lagi. Iapun bertolak ke mesir dengan dipenuhi beribu pertanyaan dikepalanya.
“Aneh, Khalifah Umar menyuruhku untuk memberikan tulang ini pada Gubernur ?” gumamnya sepanjang perjalanan ke negerinya.
Setibanya di mesir, orang yahudi bergegas menuju kediaman Gubernur. “Wahai Tuan Gubernur, saya orang yahudi yang tanahnya akan kau gusur itu“ kata orang Yahudi tersebut.
“Oh kau rupanya, ada apa lagi ?” kata sang Gubernur.
“Saya baru saja menghadap Amirul Mukminin” kata orang yahudi.
“Lantas ada apa ?”
“Saya disuruh memberikan tulang ini” orang Yahudi itupun segera menyerahkan tulang unta ke tangan Gubernur.
Diperiksanya tulang itu baik-baik. Wajah Gubernur berubah pucat. Tubuhnya gemetar. Keringat dingin mengucur di dahinya ketika melihat gambar pada tulang itu. Sebuah garis lurus dan gambar pedang yang dibuat Khalifah Umar sudah membuat hati Gubernur ketakutan bukan main.
“Hai pengawal !” tiba-tiba ia berteriak keras.
“Serahkan tanah orang yahudi ini sekarang juga ! Batalkan rencana menggusur rumah dan tanahnya ! Kita cari tempat lain untuk membangun masjid” kata Gubernur.
Orang Yahudi itupun menjadi heran dibuatnya. Ia sungguh tidak mengerti dengan perubahan keputusan Gubernur yang akan mengembalikan tanah miliknya. Hanya dengan melihat tulang yang bergambar pedang dan garis lurus dari Khalifah tadi, Gubernur tampak sangat ketakutan.
“Hai Yahudi ! Sekarang juga kukembalikan tanah dan semua milikmu. Tinggallah engkau dan keluargamu disana sesuka hati” sahut Gubernur terbata-bata.
Pesan dalam tulang itu dirasakan Gubernur seakan-akan Khalifah Umar berada dihadapannya dengan wajah yang amat marah. Ya ! Gubernur merasa seolah-olah dicambuk dan ditebas lehernya oleh Amirul Mukminin.
“Tuan Gubernur ada apa sebenarnya ? Apa yang terjadi ? Kenapa tuan tampak ketakutan melihat tulang yang ada garis lurus dan gambar pedang itu ? Padahal Amirul Mukminin tidak mengatakan apa-apa ?” tanya orang Yahudi masih tak mengerti.
“Hai Yahudi, Tahukah engkau ? Sesungguhnya Amirul Mukminin sudah memberi peringatan keras padaku lewat tulang ini” kata Gubernur.
Orang Yahudi tersebut bertambah heran saja. "Sesungguhnya tulang ini membawa sebuah pesan peringatan. Garis lurus, artinya Khalifah Umar memintaku agar aku sungguh-sungguh menegakkan keadilan terhadap siapapun. Dan gambar Pedang, artinya kalau aku tidak berlaku adil, maka Khalifah akan bertindak. Aku harus menjadi penguasa yang adil sebelum aku yang menjadi tulang belulang” jawab Gubernur menceritakan isi pesan yang terkandung dalam tulang unta itu.
Kini orang Yahudi pun mengerti semuanya. Betapa ia sangat kagum kepada Amirul Mukminin yang sungguh-sungguh memperhatikan nasib orang tertindas seperti dirinya meskipun ia bukan dari kaum muslimin.
“Tuan Gubernur, saya sangat kagum pada Amirul Mukminin dan keadilan yang diberikan Pemerintah Islam. Karenanya, saya ingin menjadi orang Muslim. Saat ini saya rela melepaskan tanah itu karena Allah semata”
Tanpa ragu sedikitpun orang Yahudi itu langsung bersyahadat dan merelakan tanahnya untuk didirikan di atasnya sebuah masjid.
Langganan:
Postingan (Atom)