Jodoh… maut… dan rizki seseorang tidak pernah ada yang tahu. Semuanya adalah kehendak Yang Maha Kuasa. Setiap insan di muka bumi hanya mampu dan mampu berusaha dengan menjalankan skenario Sang Pencipta sebaik-baiknya. Segalanya sudah tertulis di buku Allah yang bernama “Lauh Mahfuzd”. Tak terkecuali untuk Haris. Seorang pemuda kampung yang kini… merantau ke ibukota untuk menggapai cita-citanya yaitu seberkas cahaya kehidupan di masa depannya kelak.
Sejak masih bayi Haris hanya tinggal bersama ibunya, karena sang ayah sudah lama pergi meninggalkan mereka. Beliau dipanggil oleh yang Maha Kuasa untuk selama-lamanya. Sebab itu.. kehidupannya tidak lepas dari campur tangan sang paman, keluarga ayah. Ketika SD hingga menginjak masa perkuliaan, ia dibiayai keluarga dari ayah.
Haris yang beberapa tahun kemarin masih canggung dengan kehidupan kota, kini terbiasa dengan hiruk pikuknya perkotaan. Bahkan sang paman tidak lagi enggan menyuruhnya mengantarkan sepatu pesanan pelanggan, dikarenakan rasa takut akan terjadi sesuatu kepadanya. Kebetulan paman seorang pengusaha sepatu. Haris yang dianggap sebagai anak tertua di keluarga menjadi tangan kanan paman menjalankan bisnisnya. Roda bisnis pun semakin maju dan perekonomian mereka semakin baik. Empat tahun menjadi mahasiswa, Haris akhirnya lulus sebagai sarjana dengan predikat sangat memuasakan “cumlaude”.
Setelah lulus, dunia kerja pun dijalaninya yaitu menjadi pegawai di salah satu bank di ibukota. Hinggga pertemuannya dengan seorang gadis pun bermula.
“Selamat siang.. bisa bertemu pak Anton?”
“Tunggu sebentar… silakan duduk”. Haris dengan kesibukannya di depan komputer yang tampak sedang mengobrak-abrik segudang angka-angka serta sifat cueknya terhadap perempuan, hanya menjawab tanpa memandang wajah si penanya.
“Selamat siang.. bisa bertemu pak Anton?”
“Tunggu sebentar… silakan duduk”. Haris dengan kesibukannya di depan komputer yang tampak sedang mengobrak-abrik segudang angka-angka serta sifat cueknya terhadap perempuan, hanya menjawab tanpa memandang wajah si penanya.
Sepuluh menit bahkan seperempat jam berlalu si perempuan yang belum tahu namanya itu mulai resah sambil meletakkan kedua tangannya di perut. Sambil menepuk-nepuk lengan kiri dengan kelima ibu jari tangan kanannya… ia berjalan bolak balik tepat di depan meja Haris, seolah memberi isyarat. Tapi Haris dengan sikap cueknya tetap saja acuh tanpa memperhatikan kerisauan si perempuan sedikitpun. Rasa panas di dada pun semakin menggebu-gebu sampai tak terbendung.
“Heiii bung…! bisa nggak sich bertemu pak Anton? Saya sudah seperempat jam menunggu”. Wanita yang ternyata bernama Nia itu menampar meja Haris, sekaligus mengeluarkan suara emasnya membentak dengan perasaannya yang sangat kesal. Haris yang sedang asyik dengan komputernya terkejut. Spontan melongok memandang wajah Nia yang membungkuk tepat di depan wajahnya.
“Astagfirulloooh… maaf ya mba… saya lupa”. Haris berkata. Wajar saja karena Itu memang bukan tugasnya. kebetulan orang yang biasa bertugas melapor ketika ada tamu sedang keluar mencari makan siang pesanan para pegawai.
“Heiii bung…! bisa nggak sich bertemu pak Anton? Saya sudah seperempat jam menunggu”. Wanita yang ternyata bernama Nia itu menampar meja Haris, sekaligus mengeluarkan suara emasnya membentak dengan perasaannya yang sangat kesal. Haris yang sedang asyik dengan komputernya terkejut. Spontan melongok memandang wajah Nia yang membungkuk tepat di depan wajahnya.
“Astagfirulloooh… maaf ya mba… saya lupa”. Haris berkata. Wajar saja karena Itu memang bukan tugasnya. kebetulan orang yang biasa bertugas melapor ketika ada tamu sedang keluar mencari makan siang pesanan para pegawai.
Pertemuan yang dimulai dengan sedikit keributan itu berlanjut. Nia yang ternyata merupakan keponakan pak Anton sering sekali berpapasan muka dengan Haris, yang menjabat sebagai salah satu orang penting di perusahaan. Pertemuan yang sering terjadi akibat Haris berkunjung ke rumah pak Anton karena suatu urusan pekerjaan akhirnya menumbuhkan benih-benih cinta di antara mereka. Kian hari benih cinta itu tumbuh semakin mekar menyelami hari dengan wajah yang selalu berseri-seri. Jalinan kasih yang terjadi antara dua insan beda agama itu pun semakin hari semakin mengalami keseriusan. Sampai di suatu sore yang cerah saat Nia menemani Haris berbuka puasa karena kebetulan hari itu hari senin… waktu umat muslim biasanya melaksanakan puasa sunat, Nia mengajukan sebuah pertanyaan.
“Ris.. kapan kamu bawa aku menemui keluargamu?” Nia bertanya saat biji salak sebagai menu kedua Haris berbuka, sedang asyik menari-nari di lorong mulutnya. Sontak… Haris batuk mendengar pertanyaan itu, yang baru muncul setelah 2 tahun resmi berpacaran.
“Hakh.. khak.. hahkk…”
“Hati-hati Ris… minum dulu” Nia menyuguhkan segelas minuman.
“Tumben nanya seperti itu?”
“Yaaa… aku baru berani menanyakannya saat ini… rasanya hubungan kita sudah pantas diketahui keluargamu Ris”.
“Mmmmm… ooooo.” Sambil berpikir jawaban apa yang harus ia berikan. Sebenarnya inilah kerisauan besar yang sudah lama ia pikirkan. Bukan karena rasa takut memperkenalkan Nia terhadap keluarga besarnya. Tetapi karena satu hal yang sangat prinsip yang tidak bisa ditolerir jika diketahui paman, ibu beserta keluarga lainnya.
“Ris.. kapan kamu bawa aku menemui keluargamu?” Nia bertanya saat biji salak sebagai menu kedua Haris berbuka, sedang asyik menari-nari di lorong mulutnya. Sontak… Haris batuk mendengar pertanyaan itu, yang baru muncul setelah 2 tahun resmi berpacaran.
“Hakh.. khak.. hahkk…”
“Hati-hati Ris… minum dulu” Nia menyuguhkan segelas minuman.
“Tumben nanya seperti itu?”
“Yaaa… aku baru berani menanyakannya saat ini… rasanya hubungan kita sudah pantas diketahui keluargamu Ris”.
“Mmmmm… ooooo.” Sambil berpikir jawaban apa yang harus ia berikan. Sebenarnya inilah kerisauan besar yang sudah lama ia pikirkan. Bukan karena rasa takut memperkenalkan Nia terhadap keluarga besarnya. Tetapi karena satu hal yang sangat prinsip yang tidak bisa ditolerir jika diketahui paman, ibu beserta keluarga lainnya.
Sebulan lamanya Haris menimbang-nimbang permintaan Nia. Dan tibalah saatnya Haris mengambil keputusan besar yang akan mempertaruhkan masa depan hubungan mereka. Ia membawa Nia dan memperkenalkannya di depan keluarga besarnya.
“Appaaa… yang kamu utarakan itu Ris…? itu sesuatu hal yang tidak mungkin…! ibu tidak akan pernah setuju jika kamu memilihnya menjadi teman hidupmu. Sama saja kamu mendustai Allah… Allah… Allah…”. Kata terakhir ibu terdengar bergaung di dalam ruangan yang sedikit luas itu. Sungguh reaksi yang sebenarnya sudah diduga Haris akan terjadi.
“Tapi buuu… Nia mau kok masuk…”
“Tapi apa? Halahhhh.. itu bohong, nanti juga… dia balik lagi ke asalnya. Sudah banyak contoh seperti itu, jadi kamu jangan tertipuuu…”. Belum sempat Haris menyelesaikan perkataannya, ibu tetap saja ngotot dengan suaranya yang semakin meninggi. Ibu tetap bersikeras mempertahankan pendapatnya, sementara itu paman yang duduk di antara mereka, duduk terdiam seperti sedang berpikir menimbang-nimbang maksud dan tujuan Haris memperkenalkan Nia. Ketenangan itu begitu jelas hadir di wajahnya. Layaknya seorang bapak yang ingin memberi keputusan secara bijak.
“Satu hal yang harus kamu ingat… jikalau kamuuu… benar-benar ingin menikah dengannya… silahkan… tapiii… camkan perkataan ibu… “langkahi mayat ibu baru kamu menikah dengannya” ”. Ibu pun berlalu dari mereka setelah kata yang tidak mungkin terjadi itu keluar dari mulutnya secara tajam. Bahkan lebih tajam dari sebatang pohon yang disambar petir di siang bolong. Haris tertunduk… seolah ingin meneteskan air mata. Tapi tak kuasa karena ada Nia di depannya.
“Maaf Ris.. aku harus pergi..”
“Nia… nia… tunggu…”. Nia tiba-tiba pergi karena tidak tahan mendengar perkataan ibu Haris. Sesegera mungkin Haris pun mengejar tapi tidak berhasil karena angkot yang biasa lewat tiba-tiba datang dan membawa Nia pergi dalam keadaan berurai air mata. Seluruh anggota keluarga yang turut menyaksikan peristiwa itu satu persatu pergi… dan meninggalkan paman serta Haris yang sedang duduk termenung tanpa sedikit kata pun keluar dari mulutnya.
“Appaaa… yang kamu utarakan itu Ris…? itu sesuatu hal yang tidak mungkin…! ibu tidak akan pernah setuju jika kamu memilihnya menjadi teman hidupmu. Sama saja kamu mendustai Allah… Allah… Allah…”. Kata terakhir ibu terdengar bergaung di dalam ruangan yang sedikit luas itu. Sungguh reaksi yang sebenarnya sudah diduga Haris akan terjadi.
“Tapi buuu… Nia mau kok masuk…”
“Tapi apa? Halahhhh.. itu bohong, nanti juga… dia balik lagi ke asalnya. Sudah banyak contoh seperti itu, jadi kamu jangan tertipuuu…”. Belum sempat Haris menyelesaikan perkataannya, ibu tetap saja ngotot dengan suaranya yang semakin meninggi. Ibu tetap bersikeras mempertahankan pendapatnya, sementara itu paman yang duduk di antara mereka, duduk terdiam seperti sedang berpikir menimbang-nimbang maksud dan tujuan Haris memperkenalkan Nia. Ketenangan itu begitu jelas hadir di wajahnya. Layaknya seorang bapak yang ingin memberi keputusan secara bijak.
“Satu hal yang harus kamu ingat… jikalau kamuuu… benar-benar ingin menikah dengannya… silahkan… tapiii… camkan perkataan ibu… “langkahi mayat ibu baru kamu menikah dengannya” ”. Ibu pun berlalu dari mereka setelah kata yang tidak mungkin terjadi itu keluar dari mulutnya secara tajam. Bahkan lebih tajam dari sebatang pohon yang disambar petir di siang bolong. Haris tertunduk… seolah ingin meneteskan air mata. Tapi tak kuasa karena ada Nia di depannya.
“Maaf Ris.. aku harus pergi..”
“Nia… nia… tunggu…”. Nia tiba-tiba pergi karena tidak tahan mendengar perkataan ibu Haris. Sesegera mungkin Haris pun mengejar tapi tidak berhasil karena angkot yang biasa lewat tiba-tiba datang dan membawa Nia pergi dalam keadaan berurai air mata. Seluruh anggota keluarga yang turut menyaksikan peristiwa itu satu persatu pergi… dan meninggalkan paman serta Haris yang sedang duduk termenung tanpa sedikit kata pun keluar dari mulutnya.
Seminggu lamanya setelah peristiwa itu, Nia belum sekalipun menelpon Haris. demikian sebaliknya. Mereka masih saja asyik merenungkan kelanjutan hubungannya. Raut kebingungan semakin tampak di wajah Haris. Hingga permintaan paman untuk resign dari kantor pun menjadi pilihan terakhir Haris atas semua masalah yang dihadapi. Sejak lama paman memang menghendaki agar Haris bekerja bersamanya. Tujuannya untuk lebih meningkatkan roda bisnis mereka. Niat itu pun akhirnya tercapai seiring dengan niat Haris yang ingin mengubur cintanya yang begitu dalam untuk Nia. Haris berusaha menjalankan bisnis sepatu paman dengan sangat baik. Bahkan ekspor ke luar negeri pun mereka lakukan.
Demi meningkatkan roda bisnis.. Haris kembali menjalani pendidikan kursus bahasa inggris walaupun masih tetap dengan pikiran bercabang kepada Nia. Keinginan bertemu Nia setelah beberapa bulan hilang tanpa kabar selalu diurungkan. Tapi… ternyata Jakarta begitu sempit, nasib kembali mempertemukan mereka. Tiba-tiba Nia yang begitu cerdas melamar menjadi guru di tempat Haris terdaftar sebagai siswa. Empat bola mata pun bertemu. Nia dengan kagetnya melihat sosok Haris sedang duduk satu meja bersama seorang gadis. Terlihat akrab. Tapi Nia yang masih memancarkan rona cinta untuk Haris berpura-pura mengalihkan pandangan. Pelajaran pada pertemuan pertama itu pun akhirnya berhasil dilakukan Nia dengan baik. Semua siswa tampak senang mengikuti pelajaran yang lengkap dengan sedikit candaan darinya.
“Niaaa… tunggu”
Haris mengejar saat Nia berjalan menuju pintu. Semua mata pun tertuju. Haris yang dikenal sebagai laki-laki pendiam ternyata selancang itu menegur sang guru tanpa kata sapaan. (Selancang itu kah?) mungkin saja kata-kata itu yang muncul di benak mereka. Tak ubahnya Ita, teman sebangku Haris saat belajar bahasa inggris.
Pertemuan pertama mengajar itu, akhirnya mempertemukan kembali dua cinta yang hampir kandas. Mereka akhirnya memutuskan kembali untuk menjalin cinta dalam keadaan backstreet. Haris tetap meminta Nia untuk bersabar sampai bisa menjelaskan semua ini secara perlahan kepada ibunya.
“Niaaa… tunggu”
Haris mengejar saat Nia berjalan menuju pintu. Semua mata pun tertuju. Haris yang dikenal sebagai laki-laki pendiam ternyata selancang itu menegur sang guru tanpa kata sapaan. (Selancang itu kah?) mungkin saja kata-kata itu yang muncul di benak mereka. Tak ubahnya Ita, teman sebangku Haris saat belajar bahasa inggris.
Pertemuan pertama mengajar itu, akhirnya mempertemukan kembali dua cinta yang hampir kandas. Mereka akhirnya memutuskan kembali untuk menjalin cinta dalam keadaan backstreet. Haris tetap meminta Nia untuk bersabar sampai bisa menjelaskan semua ini secara perlahan kepada ibunya.
Jarum jam berputar begitu cepat. Saat mudik lebaran pun tibalah sudah. Seluruh anggota keluarga berbondong-bondong menuju kampung halaman. Termasuk keluarga dari ibunya. Wajah penuh ceria tak luput menghiasi sepanjang perjalanan mereka. Tapi tidak dengan Haris. Ia risau akan niat ibu dan keluarganya yang berniat menikahkannya di kampung.
Ketakutan itu ternyata terjadi. Ibu serta bibi (istri-istri ketiga pamannya) berusaa mencarikan seorang istri untuknya. Dan sampailah pada satu keputusan yang mempertemukannya dengan seorang gadis berjilbab. Pertemuan di antara keduanya pun diadakan. Si gadis yang ingin dilamar nampaknya terpikat dengan ketampanan Haris yang tinggi semampai. Ketuk palu pun tinggal menunggu keputusan Haris. Hingga di hari ke-3 proses berpikir untuk Haris membuat keputusan… sepucuk surat datang dari pak pos. Yang dialamatkan untuk Haris.
“Jika disana kamu menikah… aku akan bunuh diri”
Inti suratnya seperti itu. Cinta backstreet itu akhirnya terbongkar karena sepucuk surat dari Nia yang diterima bibi dari pak pos. Kericuhan pun terjadi. Hingga Haris memutuskan kembali ke jakarta meninggalkan keluarga besar yang masih ingin menikmati suasana lebaran. Dengan alasan banyak pekerjaan ia pergi. Perasaan ibu yang sangat kecewa dengan sikap Haris yang masih berhubungan denga Nia diabaikan.
Ketakutan itu ternyata terjadi. Ibu serta bibi (istri-istri ketiga pamannya) berusaa mencarikan seorang istri untuknya. Dan sampailah pada satu keputusan yang mempertemukannya dengan seorang gadis berjilbab. Pertemuan di antara keduanya pun diadakan. Si gadis yang ingin dilamar nampaknya terpikat dengan ketampanan Haris yang tinggi semampai. Ketuk palu pun tinggal menunggu keputusan Haris. Hingga di hari ke-3 proses berpikir untuk Haris membuat keputusan… sepucuk surat datang dari pak pos. Yang dialamatkan untuk Haris.
“Jika disana kamu menikah… aku akan bunuh diri”
Inti suratnya seperti itu. Cinta backstreet itu akhirnya terbongkar karena sepucuk surat dari Nia yang diterima bibi dari pak pos. Kericuhan pun terjadi. Hingga Haris memutuskan kembali ke jakarta meninggalkan keluarga besar yang masih ingin menikmati suasana lebaran. Dengan alasan banyak pekerjaan ia pergi. Perasaan ibu yang sangat kecewa dengan sikap Haris yang masih berhubungan denga Nia diabaikan.
Pikirannya semakin kalut. Memilih antara ibu dan kekasih adalah hal yang sangat sulit untuk dilakukannya saat ini. Bahkan itu sesuatu yang tidak bisa dilakukan. Seolah lari dari masalah yang menghimpit… Haris yang sudah berada di jakarta menyibukkan diri dengan menikmati suasana puncak yang begitu dingin.
“Hei Ris… ngapain di sini?”
“Ita… menikmati suasana. Kamu sedang apa di sini?”. Seperti biasa dengan sikapnya yang sopan, Haris bertanya saat ditegur Ita dari belakang.
“Sama.. aku liburan”
“Gak mudik?”
“Mmm… no.. I’m lazy”
“Hei Ris… ngapain di sini?”
“Ita… menikmati suasana. Kamu sedang apa di sini?”. Seperti biasa dengan sikapnya yang sopan, Haris bertanya saat ditegur Ita dari belakang.
“Sama.. aku liburan”
“Gak mudik?”
“Mmm… no.. I’m lazy”
Tiga hari lamanya mereka menghabiskan waktu di puncak yang penuh dengan suasana romantis. Berusaha menghindar dari semua masalah.. menonaktifkan hp… Haris menjalani harinya dengan penuh kebahagiaan sementara bersama Ita. Ternyata, diam-diam… tiga hari kebersamaan itu semakin menumbuhkan benih cinta di hati Ita. Seolah tak terbendung… cinta itu pun diutarakan Ita kepada Haris yang sedang galau. Tanpa pikir panjang… Haris yang sedang galau berubah menjadi laki-laki play boy. Ia menyambut ungkapan cinta dari Ita.
“Kamu kemana aja Ris? hp dari kemaren dimatikan.. ada apa?” tiba-tiba Nia menelpon sehari setelah pulang dari puncak.
“Hp ku sedang diperbaiki.. saat di kampung rusak”
“Ooo..”. Haris berbohong guna menghindari rasa curiga di hati Nia. Semakin hari masalah terjadi begitu banyak. Mulai dari desakan keluarga yang menginginkannya menikah sampai konflik keluarga pun akhirnya terjadi. Keluarga yang dulunya cuek dengan keberadaannya… kini semakin turut campur… masuk… hingga menghancurkan hubungan yang sudah terbina layaknya ayah dan anak itu. Kehancuran itu berujung pada pembagian harta gono-gini. Yang juga turut menghancurkan roda usaha mereka.
“Kamu kemana aja Ris? hp dari kemaren dimatikan.. ada apa?” tiba-tiba Nia menelpon sehari setelah pulang dari puncak.
“Hp ku sedang diperbaiki.. saat di kampung rusak”
“Ooo..”. Haris berbohong guna menghindari rasa curiga di hati Nia. Semakin hari masalah terjadi begitu banyak. Mulai dari desakan keluarga yang menginginkannya menikah sampai konflik keluarga pun akhirnya terjadi. Keluarga yang dulunya cuek dengan keberadaannya… kini semakin turut campur… masuk… hingga menghancurkan hubungan yang sudah terbina layaknya ayah dan anak itu. Kehancuran itu berujung pada pembagian harta gono-gini. Yang juga turut menghancurkan roda usaha mereka.
Hidup Haris semakin hancur. Dukungan dari keluarga ayah semakin jauh. Hari-harinya dijalani dengan fenomena-fenomena menyedihkan, yang sungguh sangat jelas tergambar di wajahnya. Dukungan moril dan materil pun hanya diperoleh dari Ita serta Nia. Sementara itu keinginan untuk menikah tetap saja mengalir dari ibunya. Kebingungan semakin meraja lela. Haris semakin bingung siapa gerangan wanita yang akan dibawa menuju pelaminan… Nia.. atau.. Ita. Keputusan yang sungguh tidak akan berujung final. Di satu sisi… Nia semakin mendesak untuk segera menikahinya. Sementara itu di sisi lain, Ita yang seagama semakin semakin mendesak pula agar Haris segera mempersuntingnya.
“ya Allah keputusan apa yang harus kubuat? Ini memang salahku… tapi semua ini karena keadaan yang memaksaku. Aku ingin menikah… tapi aku tidak ingin perkataan ibu terjadi jika aku memilih Nia. Jika aku memilih Ita yang seagama denganku… rasanya aku tidak sanggup meniggalkan Nia yang sangat ku cintai… Pilihan mana yang terbaik untukku ya Allla? Bantu aku… berilah aku satu keputusan terbaik di hidupku.. amiiin”
“Tok… tok… tok… assalamu alaikum…”
“Waalaikum salam…” ibu menjawab saat sedang berjalan menuju pintu.
“Saya ingin ketemu Haris buk…” dengan sedikit suara meninggi, Ita mendorong pintu dan memaksa masuk saat pintu masih dalam keadaan setengah terbuka.
“Ka.. kamu siapa… hei… kamu siapa?” ibu mengejar langkah Ita yang memanggil-manggil Haris dengan langkah yang semakin cepat mencari Haris di seluruh isi ruangan.
“Ris… kamu dimana? keluar Ris?”
“Heii.. ada apa? Kamu siapa?” tanpa perduli terhadap ibunya… Ita ngotot bersikap tak karuan.
“Ita..?” Haris keluar mendengar teriakan Itu… lengkap dengan sarung yang masih dikenakannya seusai solat duha. “Ada apa Ta’?”
“Ada apa… ada apa… kamu harus segera menikahiku… jangan mempermainkan aku seperti ini…”
“Haris terdiam tanpa sanggup tuk berkutik… reaksi Ita semakin hebat. Ia seolah berubah menjadi monster wanita perkasa yang mampu menandingi kekuatan laki-laki. Dengan tangannya yang tergolong kuat… ia memukul bagian belakang Haris tanpa henti. Ibu yang menyaksikan pun berusaha melerai tapi pukulan itu semakin hebat dan keras hingga akhirnya mendarat di bagaian dada Haris. Haris yang dari awal hanya diam membisu, tak kuasa menerima pukulan keras Ita. Tubuh yang masih dalam keadaan berpuasa… tumbang tak sadarkan diri. Ibu panik.. dan Ita yang menyebabkan keadaan itu semakin takut. Ia menghilang saat semua perhatian tertuju kepada Haris.
“Waalaikum salam…” ibu menjawab saat sedang berjalan menuju pintu.
“Saya ingin ketemu Haris buk…” dengan sedikit suara meninggi, Ita mendorong pintu dan memaksa masuk saat pintu masih dalam keadaan setengah terbuka.
“Ka.. kamu siapa… hei… kamu siapa?” ibu mengejar langkah Ita yang memanggil-manggil Haris dengan langkah yang semakin cepat mencari Haris di seluruh isi ruangan.
“Ris… kamu dimana? keluar Ris?”
“Heii.. ada apa? Kamu siapa?” tanpa perduli terhadap ibunya… Ita ngotot bersikap tak karuan.
“Ita..?” Haris keluar mendengar teriakan Itu… lengkap dengan sarung yang masih dikenakannya seusai solat duha. “Ada apa Ta’?”
“Ada apa… ada apa… kamu harus segera menikahiku… jangan mempermainkan aku seperti ini…”
“Haris terdiam tanpa sanggup tuk berkutik… reaksi Ita semakin hebat. Ia seolah berubah menjadi monster wanita perkasa yang mampu menandingi kekuatan laki-laki. Dengan tangannya yang tergolong kuat… ia memukul bagian belakang Haris tanpa henti. Ibu yang menyaksikan pun berusaha melerai tapi pukulan itu semakin hebat dan keras hingga akhirnya mendarat di bagaian dada Haris. Haris yang dari awal hanya diam membisu, tak kuasa menerima pukulan keras Ita. Tubuh yang masih dalam keadaan berpuasa… tumbang tak sadarkan diri. Ibu panik.. dan Ita yang menyebabkan keadaan itu semakin takut. Ia menghilang saat semua perhatian tertuju kepada Haris.
Air mata semakin deras mengalir di pipi ibu. Kondisi Haris semakin parah. Ahli medis yang terdekat dari rumah pun segera dipanggil. Tapi segala usaha yang dilakukan untuk menyadarkan Haris sia-sia belaka. Ia pergi tuk selamanya membawa cinta mendalam yang telah bersemayam di hati dua orang gadis dewasa. Kini problematika itu usai. Semuanya ending dengan terkuburnya cinta Haris di pusara yang hanya berbalut sehelai kain kafan sebagai penutup tubuhnya, dan membawa semua kenangan manis semasa hidup. Ternyata inilah jawaban atas doa Haris beberapa menit yang lalu.
“Jika suatu hari maut datang menjemputku… maafkan aku ibu… tak bisa lagi melindungi di sepanjang harimu”. Itulah kata yang terangkai di sudut kamar Haris… saat ibu membuka kamar mengenang anaknya yang baru beberapa minggu kemarin pergi meninggalkannya.
“Jika suatu hari maut datang menjemputku… maafkan aku ibu… tak bisa lagi melindungi di sepanjang harimu”. Itulah kata yang terangkai di sudut kamar Haris… saat ibu membuka kamar mengenang anaknya yang baru beberapa minggu kemarin pergi meninggalkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar