Malam ini. Detik ini. Aku sedang menatapi sebuah benda yang tengah kugenggam. Sembari duduk manis di sisi ranjang tidurku. Semakin dalam ku memandangi benda ini, tiba-tiba saja terlukis seberkas ingatan yang begitu saja terlintas di pikiranku.
‘Ini hadiah dari ayah..’ kata kata terakhir yang beliau ucapkan, sebelum almarhum meninggalkanku untuk selamanya. Isak tangis kian mengiringiku pada saat itu. Itu adalah hari dimana aku mendapat benda ini dari sesosok yang sangat kucintai. Ayahku.
Benda yang beliau beri berupa sebuah liontin beberbentuk wajik berwarna biru safir. Mungkin beliau berpikir, ini adalah benda yang cukup cocok untuk menggantikan posisinya. Tidak. Ini hanya benda kenangan.
Sejenak aku merebahkan diri ke tengah ranjang. Memandang langit-langit kamar. Rasa mengantuk pun mulai menghinoptisku. Lagipula hari sudah larut, tidak baik jika anak seumuranku – 15 tahun – tidur terlalu malam.
‘Ini hadiah dari ayah..’ kata kata terakhir yang beliau ucapkan, sebelum almarhum meninggalkanku untuk selamanya. Isak tangis kian mengiringiku pada saat itu. Itu adalah hari dimana aku mendapat benda ini dari sesosok yang sangat kucintai. Ayahku.
Benda yang beliau beri berupa sebuah liontin beberbentuk wajik berwarna biru safir. Mungkin beliau berpikir, ini adalah benda yang cukup cocok untuk menggantikan posisinya. Tidak. Ini hanya benda kenangan.
Sejenak aku merebahkan diri ke tengah ranjang. Memandang langit-langit kamar. Rasa mengantuk pun mulai menghinoptisku. Lagipula hari sudah larut, tidak baik jika anak seumuranku – 15 tahun – tidur terlalu malam.
Kicauan burung terdengar syahdu, menuntut diriku untuk terbangun dan melanjuti rutinitas seperti biasanya. Aku pun beranjak dari ranjangku, lalu membuka tirai jendela. Suasana pagi dengan lembutnya menyambut diriku. Aku kembali melirik ranjangku yang tidak terlalu berantakan. Di dekat bantal ku lihat sebuah benda kecil berkilau, yang tidak lain dan tidak bukan merupakan sebuah liontin. Liontin yang aku pandangi semalam. Tanpa berpikir dua kali, aku mengambilnya dan meletakkannya di dalam tas sekolah. Sama seperti hari hari kemarin.
Jam telah menunjukan pukul 06.10. Sudah waktunya bagiku untuk mempersiapkan diri ke sekolah. Sekolah sudah bagaikan rumah kedua bagi diriku.
“Anak-anak, mungkin segitu dulu yang bisa saya ajarkan. Kita lanjutkan saja pada pertemuan minggu depan,” ujar seorang guru kepada murid-murid kelasnya.
“Baik!” sahut murid-muridnya serempak.
Lalu guru itu pergi ke luar kelas. Sedangkan, murid-muridnya berhamburan keluar dari tempat duduknya masing-masing.
“Hei, Nirla, mau ikut ke kantin nggak?” tawar temanku -Rima- kepadaku.
Aku hanya menyahut dengan sebuah anggukan yang berarti ‘Iya’. Lantas aku bangun dan mengikuti langkahnya menuju kantin.
“Baik!” sahut murid-muridnya serempak.
Lalu guru itu pergi ke luar kelas. Sedangkan, murid-muridnya berhamburan keluar dari tempat duduknya masing-masing.
“Hei, Nirla, mau ikut ke kantin nggak?” tawar temanku -Rima- kepadaku.
Aku hanya menyahut dengan sebuah anggukan yang berarti ‘Iya’. Lantas aku bangun dan mengikuti langkahnya menuju kantin.
Sampai disana, aku hanya membeli sebungkus snack dan sekotak minuman Sementara Rima membeli sebungkus snack dan sekotak minuman pula, tetapi dengan merek yang berbeda.
Selang beberapa saat kemudian, kami telah tiba di kelas. Tampak seorang gadis tersenyum hangat seraya melambaikan tangannya ke arahku. Dia adalah Sarah, teman sebangkuku. Kami pun – aku dan Rima segera mendekati tempat dia berada. Di bangkuku.
“Sarah, kau tengah senang yah?” tebak Rima begitu sampai.
“Hmn, mungkin iya, mungkin juga tidak,” sahut Sarah dengan alisnya yang dinaikkan sebelah.
Entah kenapa aku tidak mempedulikan percakapan mereka berdua. Malahan, sekarang aku sedang sibuk mengobrak-abrik isi tasku. Mencari benda yang paling berarti bagiku itu.
“Ada-ada saja kau Sarah,” pekik Rima sembari tertawa garing.
“Hn, Sarah, Rima ada liat liontinku?” tanyaku yang sukses mengalihkan perhatian mereka kepadaku. Mereka hanya bingung sambil memerhatikan satu sama lain.
“Tidak, aku tidak lihat” balas Rima terlebih dulu. Dengan tatapan yang meyakinkan.
“Aku juga tidak melihat, Nir,” jawab Sarah tak lama setelah Rima menjawab tadi.
“Bukannya sudah kubilang, sebaiknya benda beharga seperti itu jangan dibawa ke sekolah,” nasihat Sarah, seolah tahu apa yang aku pikirkan. Mungkin dia membaca dari raut wajahku yang sudah panik.
“Tapi.. tapi,” pekikku kehabisan kata-kata.
“Mungkin ketinggalan di rumah!” kata Rima tiba-tiba mengungkap opininya.
“Tidak mungkin, jelas-jelas aku pagi hari tadi meletakannya dalam tas,” bantahku terhadap masukan dari Rima.
“Kalau begitu, aku tidak tahu-menahu,” ucap Rima dengan kepalanya yang digelengkan.
“Aku pun,” ikut Sarah.
Aku hanya bisa mendesah kesal dan memalingkan wajah dari kedua sahabatku ini.
“Mungkin masih di rumahmu. Cari-cari saja lagi,” ujar Sarah berusaha menenangkanku.
“Huft, baiklah,” jawabku mengalah, bisa jadi mereka ada benarnya.
“Sarah, kau tengah senang yah?” tebak Rima begitu sampai.
“Hmn, mungkin iya, mungkin juga tidak,” sahut Sarah dengan alisnya yang dinaikkan sebelah.
Entah kenapa aku tidak mempedulikan percakapan mereka berdua. Malahan, sekarang aku sedang sibuk mengobrak-abrik isi tasku. Mencari benda yang paling berarti bagiku itu.
“Ada-ada saja kau Sarah,” pekik Rima sembari tertawa garing.
“Hn, Sarah, Rima ada liat liontinku?” tanyaku yang sukses mengalihkan perhatian mereka kepadaku. Mereka hanya bingung sambil memerhatikan satu sama lain.
“Tidak, aku tidak lihat” balas Rima terlebih dulu. Dengan tatapan yang meyakinkan.
“Aku juga tidak melihat, Nir,” jawab Sarah tak lama setelah Rima menjawab tadi.
“Bukannya sudah kubilang, sebaiknya benda beharga seperti itu jangan dibawa ke sekolah,” nasihat Sarah, seolah tahu apa yang aku pikirkan. Mungkin dia membaca dari raut wajahku yang sudah panik.
“Tapi.. tapi,” pekikku kehabisan kata-kata.
“Mungkin ketinggalan di rumah!” kata Rima tiba-tiba mengungkap opininya.
“Tidak mungkin, jelas-jelas aku pagi hari tadi meletakannya dalam tas,” bantahku terhadap masukan dari Rima.
“Kalau begitu, aku tidak tahu-menahu,” ucap Rima dengan kepalanya yang digelengkan.
“Aku pun,” ikut Sarah.
Aku hanya bisa mendesah kesal dan memalingkan wajah dari kedua sahabatku ini.
“Mungkin masih di rumahmu. Cari-cari saja lagi,” ujar Sarah berusaha menenangkanku.
“Huft, baiklah,” jawabku mengalah, bisa jadi mereka ada benarnya.
Bel sekolah berbunyi, memanggil seluruh siswa dan guru untuk kembali ke kelas masing-masing serta melanjutkan aktifitas belajar-mengajar.
Pulang sekolah. Keadaan rumah kosong, dikarenakan ibuku sedang sibuk kerja di luar. Aku kini duduk di sofa empuk sembari melepas lelah. Kondisiku yang masih mengenakan seragam sekolah dan tas menempel pada punggungku, membuatku tak memiliki waktu lama untuk bersantai. Aku pun segera beranjak menuju kamar untuk mengganti seragam ini dengan baju rumahan biasa.
Pikiranku kembali terbawa oleh ucapan temanku tadi. Mencari liontinnya di rumah. Tanpa memikirkan hal lain, aku lantas mencari liontin itu ke seluruh penjuru kamar. Di meja belajar, lemari baju, hingga ruang sempit di bawahan tempat tidur. Selang beberapa saat, hasilnya nihil, aku tidak menemukannya.
Perasaan panik dan putus asa berkecamuk di dalam diriku. Air mataku menetes seketika, seolah tak dapat dibendung lagi.
Pikiranku kembali terbawa oleh ucapan temanku tadi. Mencari liontinnya di rumah. Tanpa memikirkan hal lain, aku lantas mencari liontin itu ke seluruh penjuru kamar. Di meja belajar, lemari baju, hingga ruang sempit di bawahan tempat tidur. Selang beberapa saat, hasilnya nihil, aku tidak menemukannya.
Perasaan panik dan putus asa berkecamuk di dalam diriku. Air mataku menetes seketika, seolah tak dapat dibendung lagi.
Kulangkahkan kakiku menuju luar, meninggalkan ruangan kamarku yang sudah bagaikan kapal pecah. Hingga berhenti di sebuah teras belakang rumah. Disana aku berdiam diri, menatap sendu lingkungan sekitarnya. Lalu duduk bersila di bawah pohon yang rindang, menghindari terpaan langsung sinar matahari. Desiran suara pohon akibat angin yang mendayu-dayu kian mengiringi kegalauan diriku.
Di tengah suasana ini, aku mendengar derap langkah kaki dari belakang. Aku menoleh. Terlihat seseorang – yang sepertinya perempuan mengenakan pakaian biasa dengan sarung yang hampir menutupi seluruh wajahnya, kecuali mata. Ia tampaknya tak menyadari keberadaanku disini. Gerak-geriknya yang tampak mencurigakan pun mengundangku untuk bertanya.
“Hei yang disana! Apa yang kau lakukan?” tanyaku dengan nada ketus. Ia melihat ke arahku.
“Ti-tidak ada melakukan apa-apa..” sahutnya gugup, suaranya terdengar berat karena tertutup sarung. Iapun membalikan badan lalu berlari menjauh.
“Tunggu!” panggilku dengan nada tinggi. Ia melirik ke belakang, matanya pun menatap heran seakan mengatakan ‘Apa?’
Aku lalu berdiri, “Bisakah menemaniku sebentar?” kata-kata itu begitu saja terlontar dari mulutku, aku pun merutuki diriku sendiri terhadap apa yang baru saja kukatakan. Aku menunduk malu.
Ia pun melepas sarung yang menutupi wajahnya. Ternyata benar, ia seorang perempuan. Dia pun berjalan ke arahku.
“Maaf,” katanya menyesal.
Aku pun menatapinya dari kepala sampai kaki. Dia lebih tinggi, kurasa ia umurnya lebih tua ketimbang aku. Aku memiringkan kepala.
“Maaf… kenapa?” tanyaku pada akhirnya.
“Abaikan saja, kau meminta aku menemanimu sebentar kan?” ia mengulang pertanyaanku tadi. Aku hanya menggangguk.
“Hmmm… baiklah!” kini ia tersenyum. Aku tak percaya, padahal, kami baru berkenalan tak sengaja kurang dari tiga puluh menit lalu.
“Kau sendirian di rumah?” tanyanya kemudian, mengawali pembicaraan. Aku mengangguk, “Iya, aku sendirian di rumah,” sahutku mempertegas anggukan tadi sambil duduk bersila di bawah pohon rindang ini, seperti yang barusan kulakukan.
“Ayah dan ibumu dimana?” ia juga ikut duduk di sampingku dengan sorot matanya yang mengarah kepadaku pula.
“Ibu sedang sibuk bekerja di luar, sedangkan ayah…” aku kembali teringat hal tersebut. Aku meringis, kepala kutundukan. Aku benar-benar tak tahu, kenapa topiknya sampai beralih kesana.
“Ka.. Kau tidak apa?” tanyanya kembali dengan nada khawatir.
“Tidak, hanya.. teringat pada suatu hal..” lirihku.
Kemudian aku menceritakan semua hal yang terjadi. Apa yang kuingat, kuceritakan semua, termasuk kejadian di sekolah tadi. Ia mendengarkannya hanya mangut-mangut, seakan sudah menyiapkan beberapa saran dari pengalaman yang kucurhatkan.
“… dan aku kehilangan liontin milik ayah tadi pagi.” raut nada-nada penyesalan terucap pada kata-kata yang mengakhiri acara curhatku.
“Setiap manusia pasti akan meninggal pada akhirnya,” jedanya, aku menoleh. Kini, ia tengah menatap kosong keadaan depannya, “Ayahmu memang telah lenyap di dunia ini, tetapi, ia masih hidup di hatimu,” aku memiringkan kepala, “Aku tahu, jika kita tak akan melihat orang yang disayangi di samping kita pasti akan meninggalkan kesedihan yang mendalam. Namun, disanalah kita harus mengenal kata sabar.” timpalnya lagi.
Aku mencerna tiap ucapan yang ia lontarkan. Ada benarnya juga, aku pun mangut-mangut tanda mengerti.
“Dan liontin itu.. hanyalah sebuah benda. Tepatnya benda kenangan dari ayahmu bukan?”
“Hmph.”
“Kendati demikian, benda hanyalah benda, tak dapat menutup rasa rindumu pada ayahmu..” sarannya, mengetuk pintu kesadaranku. Rasanya, seolah diriku telah terhipnotis untuk keluar dari keterpurukan ini.
Aku berdiri kembali. Kulangkahkan kakiku beberapa meter dari tempat semula. Menghindari pohon rindang tadi yang menghalangiku menatap langit. Sinar matahari yang lumanyan panas mulai menerpa diriku. Aku menengadah. Sorot mataku menerawang hamparan laut biru cerah, diikuti dengan kapas-kapas putih lembut yang melayang menghiasinya. Kuangkat tangan kananku, kucoba meraih langit itu dengan jemariku, kujinjitkan kakiku.
“Ayah, apa kau ada disana? Disini Nirla lagi bercengkrama sama teman barunya Nirla lho, namanya…” sejenak, aku baru ingat, aku belum menanyakan siapa namanya.
“Fidaa… namaku Fida!” teriaknya memberitahuku nama dirinya. Tak kusadari, sedari tadi ternyata ia sudah melihat gerak-gerikku. Aku hanya menoleh seraya melempar senyum terimakasih.
“Fida.. Kak Fida namanya. Ayah, aku sangat merindukan ayah, bisakah kita nanti bertemu di dunia mimpi? Biarku tubuhku ini merasakan terakhir kali pelukan ayah! Ayah, maafin ya kesalahan yang Nirla pernah lakukan, termasuk menghilangkan liontin itu! Ayah, aku harap ayah mendengarkan kata-kata yang Nirla ucapkan! Ayah…” aku melampiaskan semua yang terlintas di benakku.
Ku menutup jemariku yang sedari tadi mengembang, tertanda aku telah mengepal kuat berbagai kalimat yang kulontarkan baru saja. Air mata kembali mengucur.
“Janganlah memendamnya, itu akan menjadi beban bagi diri sendiri. Bicarakan saja, walaupun akan dianggap orang gila, yang penting beban-beban tersebut akan terasa lebih ringan.” kesimpulanku berdasarkan apa yang kuperbuat tadi. Ya, kata-kata tadi memang sudah kupendam sejak lama.
Aku melirik ke Fida. Ia tampak sedang mengusap air matanya, mungkin ia juga terlarut ke dalam suasana ini. Sesudah itu, pandangan kita bertemu. Ia tersenyum kembali, mengisyaratkan sebuah kata pujian untukku.
Diriku kembali berlangkah gontai menuju tempat Fida duduk. Tepatnya di bawah pohon rindang tadi. Tempat yang cukup nyaman untuk berteduh. Sampai disana, aku duduk sejajar dengannya, sambil mengibas-ngibaskan tanganku, merutuki panasnya sekarang ini.
Satu menit berlalu hening menyelimuti kita. Tak ada sepatah kata pun. Kita sepertinya sedang enggan untuk membuka topik terlebih dahulu.
“Hmn, sebenarnya apa tujuan kak Fida kemari?” tanyaku memberanikan diri membuka pembicaraan. Ia terlihat sangat gelisah aku menanyai hal tersebut. Bagiku, cukup lama proses berpikirnya untuk menjawab pertanyaanku itu.
“Aku… aku.. sebenernya niatan mencuri kesini,” pengakuannya. Aku pun terbelalak.
“A—” baru saja aku akan mengomentari pengakuannya, ia sudah membungkam mulutku terlebih dahulu dengan kedua tangannya. Mataku membulat, kaget atas perlakuannya.
“Maaf, sebenarnya aku ingin pulang ke desa, ibuku sakit keras disana. Sementara, aku tak memiliki uang yang cukup untuk membiayai obat maupun ongkos kereta kesana. Oleh karena itu, aku nekat mencuri! Maaf! Aku benar-benar meminta maaf!” Desahnya disertai raut wajah khawatir tertera jelas, berharap agar aku akan menerima permintaan maafnya.
Aku mengerti keadaannya, “Ayo, ikuti aku,” responku kemudian. Ia melepaskan tangannya yang dari tadi menatup di mulutku. Dan mengikutiku berjalan ke tempat yang kutuju.
Aku percaya pada Fida, ia tak mungkin berbohong. Mengingat banyak kata-kata mutiara yang ia lontarkan sedari tadi. Menghiburku agar menjauhi duka yang kurasakan. Mungkin, ini dapat membalas rasa terimakasihnya dengan cara ini.
Di tengah suasana ini, aku mendengar derap langkah kaki dari belakang. Aku menoleh. Terlihat seseorang – yang sepertinya perempuan mengenakan pakaian biasa dengan sarung yang hampir menutupi seluruh wajahnya, kecuali mata. Ia tampaknya tak menyadari keberadaanku disini. Gerak-geriknya yang tampak mencurigakan pun mengundangku untuk bertanya.
“Hei yang disana! Apa yang kau lakukan?” tanyaku dengan nada ketus. Ia melihat ke arahku.
“Ti-tidak ada melakukan apa-apa..” sahutnya gugup, suaranya terdengar berat karena tertutup sarung. Iapun membalikan badan lalu berlari menjauh.
“Tunggu!” panggilku dengan nada tinggi. Ia melirik ke belakang, matanya pun menatap heran seakan mengatakan ‘Apa?’
Aku lalu berdiri, “Bisakah menemaniku sebentar?” kata-kata itu begitu saja terlontar dari mulutku, aku pun merutuki diriku sendiri terhadap apa yang baru saja kukatakan. Aku menunduk malu.
Ia pun melepas sarung yang menutupi wajahnya. Ternyata benar, ia seorang perempuan. Dia pun berjalan ke arahku.
“Maaf,” katanya menyesal.
Aku pun menatapinya dari kepala sampai kaki. Dia lebih tinggi, kurasa ia umurnya lebih tua ketimbang aku. Aku memiringkan kepala.
“Maaf… kenapa?” tanyaku pada akhirnya.
“Abaikan saja, kau meminta aku menemanimu sebentar kan?” ia mengulang pertanyaanku tadi. Aku hanya menggangguk.
“Hmmm… baiklah!” kini ia tersenyum. Aku tak percaya, padahal, kami baru berkenalan tak sengaja kurang dari tiga puluh menit lalu.
“Kau sendirian di rumah?” tanyanya kemudian, mengawali pembicaraan. Aku mengangguk, “Iya, aku sendirian di rumah,” sahutku mempertegas anggukan tadi sambil duduk bersila di bawah pohon rindang ini, seperti yang barusan kulakukan.
“Ayah dan ibumu dimana?” ia juga ikut duduk di sampingku dengan sorot matanya yang mengarah kepadaku pula.
“Ibu sedang sibuk bekerja di luar, sedangkan ayah…” aku kembali teringat hal tersebut. Aku meringis, kepala kutundukan. Aku benar-benar tak tahu, kenapa topiknya sampai beralih kesana.
“Ka.. Kau tidak apa?” tanyanya kembali dengan nada khawatir.
“Tidak, hanya.. teringat pada suatu hal..” lirihku.
Kemudian aku menceritakan semua hal yang terjadi. Apa yang kuingat, kuceritakan semua, termasuk kejadian di sekolah tadi. Ia mendengarkannya hanya mangut-mangut, seakan sudah menyiapkan beberapa saran dari pengalaman yang kucurhatkan.
“… dan aku kehilangan liontin milik ayah tadi pagi.” raut nada-nada penyesalan terucap pada kata-kata yang mengakhiri acara curhatku.
“Setiap manusia pasti akan meninggal pada akhirnya,” jedanya, aku menoleh. Kini, ia tengah menatap kosong keadaan depannya, “Ayahmu memang telah lenyap di dunia ini, tetapi, ia masih hidup di hatimu,” aku memiringkan kepala, “Aku tahu, jika kita tak akan melihat orang yang disayangi di samping kita pasti akan meninggalkan kesedihan yang mendalam. Namun, disanalah kita harus mengenal kata sabar.” timpalnya lagi.
Aku mencerna tiap ucapan yang ia lontarkan. Ada benarnya juga, aku pun mangut-mangut tanda mengerti.
“Dan liontin itu.. hanyalah sebuah benda. Tepatnya benda kenangan dari ayahmu bukan?”
“Hmph.”
“Kendati demikian, benda hanyalah benda, tak dapat menutup rasa rindumu pada ayahmu..” sarannya, mengetuk pintu kesadaranku. Rasanya, seolah diriku telah terhipnotis untuk keluar dari keterpurukan ini.
Aku berdiri kembali. Kulangkahkan kakiku beberapa meter dari tempat semula. Menghindari pohon rindang tadi yang menghalangiku menatap langit. Sinar matahari yang lumanyan panas mulai menerpa diriku. Aku menengadah. Sorot mataku menerawang hamparan laut biru cerah, diikuti dengan kapas-kapas putih lembut yang melayang menghiasinya. Kuangkat tangan kananku, kucoba meraih langit itu dengan jemariku, kujinjitkan kakiku.
“Ayah, apa kau ada disana? Disini Nirla lagi bercengkrama sama teman barunya Nirla lho, namanya…” sejenak, aku baru ingat, aku belum menanyakan siapa namanya.
“Fidaa… namaku Fida!” teriaknya memberitahuku nama dirinya. Tak kusadari, sedari tadi ternyata ia sudah melihat gerak-gerikku. Aku hanya menoleh seraya melempar senyum terimakasih.
“Fida.. Kak Fida namanya. Ayah, aku sangat merindukan ayah, bisakah kita nanti bertemu di dunia mimpi? Biarku tubuhku ini merasakan terakhir kali pelukan ayah! Ayah, maafin ya kesalahan yang Nirla pernah lakukan, termasuk menghilangkan liontin itu! Ayah, aku harap ayah mendengarkan kata-kata yang Nirla ucapkan! Ayah…” aku melampiaskan semua yang terlintas di benakku.
Ku menutup jemariku yang sedari tadi mengembang, tertanda aku telah mengepal kuat berbagai kalimat yang kulontarkan baru saja. Air mata kembali mengucur.
“Janganlah memendamnya, itu akan menjadi beban bagi diri sendiri. Bicarakan saja, walaupun akan dianggap orang gila, yang penting beban-beban tersebut akan terasa lebih ringan.” kesimpulanku berdasarkan apa yang kuperbuat tadi. Ya, kata-kata tadi memang sudah kupendam sejak lama.
Aku melirik ke Fida. Ia tampak sedang mengusap air matanya, mungkin ia juga terlarut ke dalam suasana ini. Sesudah itu, pandangan kita bertemu. Ia tersenyum kembali, mengisyaratkan sebuah kata pujian untukku.
Diriku kembali berlangkah gontai menuju tempat Fida duduk. Tepatnya di bawah pohon rindang tadi. Tempat yang cukup nyaman untuk berteduh. Sampai disana, aku duduk sejajar dengannya, sambil mengibas-ngibaskan tanganku, merutuki panasnya sekarang ini.
Satu menit berlalu hening menyelimuti kita. Tak ada sepatah kata pun. Kita sepertinya sedang enggan untuk membuka topik terlebih dahulu.
“Hmn, sebenarnya apa tujuan kak Fida kemari?” tanyaku memberanikan diri membuka pembicaraan. Ia terlihat sangat gelisah aku menanyai hal tersebut. Bagiku, cukup lama proses berpikirnya untuk menjawab pertanyaanku itu.
“Aku… aku.. sebenernya niatan mencuri kesini,” pengakuannya. Aku pun terbelalak.
“A—” baru saja aku akan mengomentari pengakuannya, ia sudah membungkam mulutku terlebih dahulu dengan kedua tangannya. Mataku membulat, kaget atas perlakuannya.
“Maaf, sebenarnya aku ingin pulang ke desa, ibuku sakit keras disana. Sementara, aku tak memiliki uang yang cukup untuk membiayai obat maupun ongkos kereta kesana. Oleh karena itu, aku nekat mencuri! Maaf! Aku benar-benar meminta maaf!” Desahnya disertai raut wajah khawatir tertera jelas, berharap agar aku akan menerima permintaan maafnya.
Aku mengerti keadaannya, “Ayo, ikuti aku,” responku kemudian. Ia melepaskan tangannya yang dari tadi menatup di mulutku. Dan mengikutiku berjalan ke tempat yang kutuju.
Aku percaya pada Fida, ia tak mungkin berbohong. Mengingat banyak kata-kata mutiara yang ia lontarkan sedari tadi. Menghiburku agar menjauhi duka yang kurasakan. Mungkin, ini dapat membalas rasa terimakasihnya dengan cara ini.
“Apa segini cukup?” tanyaku seraya memperlihatkan lembaran-lembaran rupiah di tanganku.
“Iya, ini cukup! Sangat cukup, mungkin lebih!” serunya riang, “Terimakasih, Nirla! Terimakasih!” Fida pun menerima uang itu dengan perasaan bersyukur.
“Tapi…” sengaja aku menjeda kalimatku. Ia menoleh kemari. Menanti perkataan selanjutnya yang akan kuucapkan. “Tapi, apakah kita akan dapat bertemu lagi?”
Ia membisu. Tak menyahut sepatah kata pun.
“Pasti! Aku yakin, di suatu hari nanti kita pasti akan bertemu bahkan menjadi teman yang akrab!” janjinya. Telapak tangannya dikepal kuat-kuat bertanda ia yakin bahwa akan mengabulkan janji itu di suatu hari nanti.
“Jangan bohong ya,” timpalku. Ia mengagguk mantap. “Ngomong-ngomong, kita belum berkenalan secara resmi. Perkenakan, namaku Nirmala Ithania, 15 tahun!” salamku, menjulurkan tangan kanan.
“Namaku Fidani Aria, 19 tahun!” salamnya pula, sambil membalas uluran tanganku. Benar, rupanya ia memang lebih tua ketimbang aku. Kami tersenyum tipis.
Lalu, aku mengantarnya sampai gerbang depan rumah. Memandanginya pergi dengan tangan yang dilambaikan. Menatapnya hingga bayangannya hilang dari pelupuk mata.
Tidak. Aku tak boleh menangis. Ia akan mengunjungiku suatu hari nanti. Aku yakin itu. Aku yakin, ia pasti tak akan mengingkari janjinya.
“Iya, ini cukup! Sangat cukup, mungkin lebih!” serunya riang, “Terimakasih, Nirla! Terimakasih!” Fida pun menerima uang itu dengan perasaan bersyukur.
“Tapi…” sengaja aku menjeda kalimatku. Ia menoleh kemari. Menanti perkataan selanjutnya yang akan kuucapkan. “Tapi, apakah kita akan dapat bertemu lagi?”
Ia membisu. Tak menyahut sepatah kata pun.
“Pasti! Aku yakin, di suatu hari nanti kita pasti akan bertemu bahkan menjadi teman yang akrab!” janjinya. Telapak tangannya dikepal kuat-kuat bertanda ia yakin bahwa akan mengabulkan janji itu di suatu hari nanti.
“Jangan bohong ya,” timpalku. Ia mengagguk mantap. “Ngomong-ngomong, kita belum berkenalan secara resmi. Perkenakan, namaku Nirmala Ithania, 15 tahun!” salamku, menjulurkan tangan kanan.
“Namaku Fidani Aria, 19 tahun!” salamnya pula, sambil membalas uluran tanganku. Benar, rupanya ia memang lebih tua ketimbang aku. Kami tersenyum tipis.
Lalu, aku mengantarnya sampai gerbang depan rumah. Memandanginya pergi dengan tangan yang dilambaikan. Menatapnya hingga bayangannya hilang dari pelupuk mata.
Tidak. Aku tak boleh menangis. Ia akan mengunjungiku suatu hari nanti. Aku yakin itu. Aku yakin, ia pasti tak akan mengingkari janjinya.
Pagi hari telah tiba. Seperti biasa, aku mempersiapkan persiapan untuk sekolah. Tapi, tidak seperti hari-hari sebelumnya juga, kali ini aku bersekolah lebih pagi. Karena, sekarang adalah hari dimana aku piket membersihkan kelas.
Tiba di sekolah. Rupanya hanya ada tiga sampai empat orang saja yang berkeliaran di halaman sekolah, sementara sisanya mungkin sedang ada di dalam kelas masing-masing, atau memang belum sampai ke sekolah. Aku pun berjalan menuju ke kelas yang tak begitu jauh dari tempatku berada sekarang.
Tak lama, aku sampai di depan jendela kelasku yang masih tertutup oleh gorden. Bermaksud iseng, aku mengintip dari celah gorden. Tampak dua orang yang sangat kukenal yaitu Rima dan Sarah. Benar-benar belum ada yang datang, selain mereka berdua dan aku.
“Rima, kau tau… sebenarnya.. akulah yang mencuri liontin milik Nirla,” terdengar suara Sarah begitu jelas sampai disini.
Aku tersentak kaget. Pengakuan macam apa itu?, tanpa ingin menguping ulasannya berikutnya, aku langsung saja lari pontang-panting ke dalam kelas. Mendobrak keras pintunya.
“APA KAU BILANG?!” seruku diiringi kemarahan. Sarah hanya terkejut lalu membungkam, menutup kedua mulutnya dengan kedua tangannya. “MENGAPA KAU MENCURI LIONTINKU??”
“Itu… itu.. karena…” ia kehabisan alasan.
“DAN KENAPA KEMARIN KAU MENCURI LIONTINKU.. TAPI SAAT KUTANYAKAN, KAU TAK TAHU-MENAHU MENGENAI HAL ITU??!” bentakku dengan tingkat kemarahan yang melebihi batas. Aku menapakkan kakiku keras-keras ke arahnya.
“Nirla…” lirihnya -Sarah- menatapku.
“Sudah.. cukup!” jerit Rima tiba-tiba, “Hentikan! kalian pagi-pagi sudah membuat ribut!” ujarnya mencoba melerai aku dan Sarah.
“Apa kau sadar apa yang kau lakukan Sarah? Cih, aku kira kita adalah seorang sahabat .. Anggapanku salah, jika kita sahabat, mana mungkin kau akan melakukan hal seperti ini?, Da—” Belum selesai aku bicara, ia sudah langsung memotong pembicaraan dinginku.
“Aku.. hanya ingin, hanya ingin,” ia mendadak angkat bicara. “Aku hanya ingin kau seperti dulu. Apa kau tahu? semenjak ada liontin itu, kau hanya diam meratapinya, tak terkecuali itu di rumah maupun di sekolah. Dan semenjak itu, kau selalu acuh tak acuh terhadap teman di sekelilingmu,” tungkasnya. “Aku tak ingin kau seperti itu.. Aku.. Aku mengkhawatirkanmu!” lanjutnya dengan bisikan yang penuh dengan penekanan pada kata-kata terakhir. Ia pun menundukan kepalanya, tak berani menatapku.
“Tapi… Sarah..” aku mencoba mengelak kata-katanya tadi. Namun, apa yang harus kukatakan?. Kakiku perlahan mundur selangkah demi selangkah. Tanpa melihat belakang. Sampailah aku di dekat ambang pintu, lalu aku berbalik arah dan berlari keluar dari kelas maupun sekolah.
Ku tak bisa menahan mataku yang sedari tadi berkaca-kaca. Batinku bimbang antara percaya dan tidak percaya. Mengapa sahabatku sendiri?, bukan itu saja, seribu pertanyaan lainnya masih menghantui diriku. Aku hanya bisa berlari kali ini, tanpa arah, tanpa tujuan, sesekalipun aku menendang bebatuan kecil nan tak berdosa. Untuk pelampiasan kesalku.
“Nirla! Tunggu!” sebuah suara yang tak asing terdengar, memanggil namaku. Aku melirik belakang sejenak. Rupanya ia adalah Rima, salah satu sahabatku.
Entah sejak kapan, diriku tidak ingin mematuhi pintanya. Aku mengacuhkannyan dan tetap berlari, tanpa memerhatikan orang-orang sekitar yang sudah heran menatap kami berdua. Aku kemudian berbelok menuju sebuah gang kecil. Ia juga mengikutiku. Tak jauh, aku mencapai pengujung dari gang ini. Gang ini buntu.
“Nirla, cepat sekali kau berlari, aku lelah,” keluh Rima begitu sampai di tempatku berada. Lalu berjongkok mengatur nafas yang sedari tadi terburu-buru.
“Lagipula, siapa yang menyuruhmu untuk mengikutiku?” tukasku, dengan irama yang ketus.
“Tidak salahkan, jika sahabat sendiri mengikutimu?” pertanyaan itu membuatku mecibir bibirku, dan mengalihkan pandanganku darinya.
“Ka.. kau mengkhawatirkanku juga?” ucapku tanpa menoleh ke Rima sedikitpun.
“Tentu saja!” sahutnya tegas, “Mana mungkin aku dan Sarah tidak khawatir? kita sudah berteman sejak SD, mana mungkin kita bisa tak tahu satu sama lain! Asal kau tahu, sifatmu dulu itu ceria, peduli dengan kita, tidak pemurung seperti sekarang, tidak mengacuhkan kita seperti sekarang!” jelas Rima dengan penekanan yang hampir menjiwai seluruh kalimatnya. Aku hanya mendumel tak jelas mendengarnya. “Dan liontin itu, aku tahu itu pemberian dari almarhum Ayahmu, aku tahu rasanya seperti apa, pasti nyesek banget. Tapi, sejak kehadiran liontin itu, kau selalu murung, sama seperti kata Sarah.” ujar Rima lebih kepada argumennya. Ia pun mendekatiku, “Nirla, kau tahu? sebenarnya, harta yang paling berharga itu bukanlah liontin yang ‘Dia’ berikan, melainkan, harta yang paling berharga itu bagaimana kau menganggap dirinya masih hidup di hatimu. Karena manusia meninggal tidak sepenuhnya meninggal, mereka masih hidup di hati orang-orang yang mencintainya,” kata mutiara yang diucapkan Rima begitu mirip dengan yang disampaikan Fida kemarin, hanya dalam cara penyampaiannya berbeda.
Aku memandangi bola mata coklat tuanya jelas-jelas, terpancar sebuah aura memelas. Senyumnya kecut, seakan ingin berkata, ‘semoga kau mengerti, namun, bila kau tak mengerti, tak apalah.’
Aku menitikan berlian-berlian rapuh dari mataku. Dan reflek memeluknya. “Maafkan aku, aku terlalu egois, maafkan aku… hikss.. hiks..” pintaku, dengan airmata yang telah mengucur deras membasahi bahu temanku.
“Itulah gunanya sahabat, selalu ada dan menghibur dalam suka maupun duka.” lanjutnya seraya membalas pelukanku. Aku tersenyum tipis, sungguh senang rasanya memiliki sahabat.
Tiba di sekolah. Rupanya hanya ada tiga sampai empat orang saja yang berkeliaran di halaman sekolah, sementara sisanya mungkin sedang ada di dalam kelas masing-masing, atau memang belum sampai ke sekolah. Aku pun berjalan menuju ke kelas yang tak begitu jauh dari tempatku berada sekarang.
Tak lama, aku sampai di depan jendela kelasku yang masih tertutup oleh gorden. Bermaksud iseng, aku mengintip dari celah gorden. Tampak dua orang yang sangat kukenal yaitu Rima dan Sarah. Benar-benar belum ada yang datang, selain mereka berdua dan aku.
“Rima, kau tau… sebenarnya.. akulah yang mencuri liontin milik Nirla,” terdengar suara Sarah begitu jelas sampai disini.
Aku tersentak kaget. Pengakuan macam apa itu?, tanpa ingin menguping ulasannya berikutnya, aku langsung saja lari pontang-panting ke dalam kelas. Mendobrak keras pintunya.
“APA KAU BILANG?!” seruku diiringi kemarahan. Sarah hanya terkejut lalu membungkam, menutup kedua mulutnya dengan kedua tangannya. “MENGAPA KAU MENCURI LIONTINKU??”
“Itu… itu.. karena…” ia kehabisan alasan.
“DAN KENAPA KEMARIN KAU MENCURI LIONTINKU.. TAPI SAAT KUTANYAKAN, KAU TAK TAHU-MENAHU MENGENAI HAL ITU??!” bentakku dengan tingkat kemarahan yang melebihi batas. Aku menapakkan kakiku keras-keras ke arahnya.
“Nirla…” lirihnya -Sarah- menatapku.
“Sudah.. cukup!” jerit Rima tiba-tiba, “Hentikan! kalian pagi-pagi sudah membuat ribut!” ujarnya mencoba melerai aku dan Sarah.
“Apa kau sadar apa yang kau lakukan Sarah? Cih, aku kira kita adalah seorang sahabat .. Anggapanku salah, jika kita sahabat, mana mungkin kau akan melakukan hal seperti ini?, Da—” Belum selesai aku bicara, ia sudah langsung memotong pembicaraan dinginku.
“Aku.. hanya ingin, hanya ingin,” ia mendadak angkat bicara. “Aku hanya ingin kau seperti dulu. Apa kau tahu? semenjak ada liontin itu, kau hanya diam meratapinya, tak terkecuali itu di rumah maupun di sekolah. Dan semenjak itu, kau selalu acuh tak acuh terhadap teman di sekelilingmu,” tungkasnya. “Aku tak ingin kau seperti itu.. Aku.. Aku mengkhawatirkanmu!” lanjutnya dengan bisikan yang penuh dengan penekanan pada kata-kata terakhir. Ia pun menundukan kepalanya, tak berani menatapku.
“Tapi… Sarah..” aku mencoba mengelak kata-katanya tadi. Namun, apa yang harus kukatakan?. Kakiku perlahan mundur selangkah demi selangkah. Tanpa melihat belakang. Sampailah aku di dekat ambang pintu, lalu aku berbalik arah dan berlari keluar dari kelas maupun sekolah.
Ku tak bisa menahan mataku yang sedari tadi berkaca-kaca. Batinku bimbang antara percaya dan tidak percaya. Mengapa sahabatku sendiri?, bukan itu saja, seribu pertanyaan lainnya masih menghantui diriku. Aku hanya bisa berlari kali ini, tanpa arah, tanpa tujuan, sesekalipun aku menendang bebatuan kecil nan tak berdosa. Untuk pelampiasan kesalku.
“Nirla! Tunggu!” sebuah suara yang tak asing terdengar, memanggil namaku. Aku melirik belakang sejenak. Rupanya ia adalah Rima, salah satu sahabatku.
Entah sejak kapan, diriku tidak ingin mematuhi pintanya. Aku mengacuhkannyan dan tetap berlari, tanpa memerhatikan orang-orang sekitar yang sudah heran menatap kami berdua. Aku kemudian berbelok menuju sebuah gang kecil. Ia juga mengikutiku. Tak jauh, aku mencapai pengujung dari gang ini. Gang ini buntu.
“Nirla, cepat sekali kau berlari, aku lelah,” keluh Rima begitu sampai di tempatku berada. Lalu berjongkok mengatur nafas yang sedari tadi terburu-buru.
“Lagipula, siapa yang menyuruhmu untuk mengikutiku?” tukasku, dengan irama yang ketus.
“Tidak salahkan, jika sahabat sendiri mengikutimu?” pertanyaan itu membuatku mecibir bibirku, dan mengalihkan pandanganku darinya.
“Ka.. kau mengkhawatirkanku juga?” ucapku tanpa menoleh ke Rima sedikitpun.
“Tentu saja!” sahutnya tegas, “Mana mungkin aku dan Sarah tidak khawatir? kita sudah berteman sejak SD, mana mungkin kita bisa tak tahu satu sama lain! Asal kau tahu, sifatmu dulu itu ceria, peduli dengan kita, tidak pemurung seperti sekarang, tidak mengacuhkan kita seperti sekarang!” jelas Rima dengan penekanan yang hampir menjiwai seluruh kalimatnya. Aku hanya mendumel tak jelas mendengarnya. “Dan liontin itu, aku tahu itu pemberian dari almarhum Ayahmu, aku tahu rasanya seperti apa, pasti nyesek banget. Tapi, sejak kehadiran liontin itu, kau selalu murung, sama seperti kata Sarah.” ujar Rima lebih kepada argumennya. Ia pun mendekatiku, “Nirla, kau tahu? sebenarnya, harta yang paling berharga itu bukanlah liontin yang ‘Dia’ berikan, melainkan, harta yang paling berharga itu bagaimana kau menganggap dirinya masih hidup di hatimu. Karena manusia meninggal tidak sepenuhnya meninggal, mereka masih hidup di hati orang-orang yang mencintainya,” kata mutiara yang diucapkan Rima begitu mirip dengan yang disampaikan Fida kemarin, hanya dalam cara penyampaiannya berbeda.
Aku memandangi bola mata coklat tuanya jelas-jelas, terpancar sebuah aura memelas. Senyumnya kecut, seakan ingin berkata, ‘semoga kau mengerti, namun, bila kau tak mengerti, tak apalah.’
Aku menitikan berlian-berlian rapuh dari mataku. Dan reflek memeluknya. “Maafkan aku, aku terlalu egois, maafkan aku… hikss.. hiks..” pintaku, dengan airmata yang telah mengucur deras membasahi bahu temanku.
“Itulah gunanya sahabat, selalu ada dan menghibur dalam suka maupun duka.” lanjutnya seraya membalas pelukanku. Aku tersenyum tipis, sungguh senang rasanya memiliki sahabat.
3 Hari kemudian
Aku berjalan-jalan di teras belakang rumah. Terpaan lembut angin kian membelai surai-surai hitam rambutku yang tergerai. Aa, sejuknya. Terkadang aku menari-nari, lalu berteduh di bawah pohon rindang. Aah, melihat cahaya matahari yang tembus melalui celah-celah daun dan tangkai itu menyenangkan, yah.
Namun di sisi lain, aku baru mendapat kabar. Kabar buruk. Sebuah kereta kecelakaan. Dipastikan semua penumpangnya tewas. Yang paling buruk ialah Fida, ia berada dalam kereta itu.
Saat aku mendapati sebuah koran pagi yang menceritakan jelas kronologisnya, aku langsung bungkam di tempat. Lidahku kelu. Hatiku pilu. Aku tak menyangka, empat hari lalu adalah pertemuan pertama dan terakhirku dengan Fida.
Aku berjalan-jalan di teras belakang rumah. Terpaan lembut angin kian membelai surai-surai hitam rambutku yang tergerai. Aa, sejuknya. Terkadang aku menari-nari, lalu berteduh di bawah pohon rindang. Aah, melihat cahaya matahari yang tembus melalui celah-celah daun dan tangkai itu menyenangkan, yah.
Namun di sisi lain, aku baru mendapat kabar. Kabar buruk. Sebuah kereta kecelakaan. Dipastikan semua penumpangnya tewas. Yang paling buruk ialah Fida, ia berada dalam kereta itu.
Saat aku mendapati sebuah koran pagi yang menceritakan jelas kronologisnya, aku langsung bungkam di tempat. Lidahku kelu. Hatiku pilu. Aku tak menyangka, empat hari lalu adalah pertemuan pertama dan terakhirku dengan Fida.
Aku mengambil sarung milik Fida yang waktu ini ia tinggalkan di teras rumahku. Aku menatapi kain sutra ini dalam-dalam. Ingatanku kembali, dimana ia berkata kata-kata yang dapat menyemangatiku. Seutas senyum menghiasi bibirku.
Setelah itu, aku bangun lalu menjauhi pohon tersebut. Tampaklah langit biru terang-benderang berada di atasku. Dengan kepulan awan bewarna putih suci berarak-arak dinaungannya. Kepalaku menengadah, menerawang luasnya langit. Sementara tanganku terangkat mencoba meraih ujung langit. Jemariku mengembang.
“Ayah, apakah sudah bertemu dengan kak Fida? orangnya baik, bukan? Bilang ke kak Fida, aku berterimakasih kepadanya! karena sudah memberikan berbagai macam semangat untuk hidup! Ayah, kak Fida! Aku harap kalian dapat mendengar ucapanku!” Tiupan angin semakin keras hingga menerbangkan banyak lembaran daun. Cantiknya…
Setelah itu, aku bangun lalu menjauhi pohon tersebut. Tampaklah langit biru terang-benderang berada di atasku. Dengan kepulan awan bewarna putih suci berarak-arak dinaungannya. Kepalaku menengadah, menerawang luasnya langit. Sementara tanganku terangkat mencoba meraih ujung langit. Jemariku mengembang.
“Ayah, apakah sudah bertemu dengan kak Fida? orangnya baik, bukan? Bilang ke kak Fida, aku berterimakasih kepadanya! karena sudah memberikan berbagai macam semangat untuk hidup! Ayah, kak Fida! Aku harap kalian dapat mendengar ucapanku!” Tiupan angin semakin keras hingga menerbangkan banyak lembaran daun. Cantiknya…
‘Benar kata mereka, walaupun mereka -Ayah dan kak Fida- tak ada di kenyataan, namun mereka berdua masih utuh di dalam hatiku, untuk selamanya. Yap, selamanya.’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar