Baru ketika matahari condong ke barat, ia tiba di Madinah. Walaupun badannya terasa letih, namun air mukanya tampak berseri. Ia gembira telah sampai di negeri Amirul Mukminin yang aman. Dengan tergopoh-gopoh, orang Yahudi itu memasuki halaman rumah Umar bin Khattab, lalu meminta izin pada prajurit yang sedang berjaga.
“Jangan-jangan, Khalifah tidak mau menerimaku” katanya dipenuhi rasa cemas. Ia menunggu di luar pintu. Prajurit masuk menemui Khalifah Umar.
“Wahai Amirul Mukminin, ada orang Yahudi ingin menghadap Tuan” sahut Prajurit.
“Bawalah ke hadapanku” perintah Khalifah.
Orang Yahudi pun masuk disertai pengawal. Ada ketenangan di hati orang Yahudi ketika melihat Khalifah yang begitu lembut dan perhatian. Bertambah terperanjat orang Yahudi itu, ternyata Amirul Mukminin menjamunya dengan aneka makanan dan minuman.
“Saat ini kau adalah tamuku, silahkan nikmati jamuannya” sambut Khalifah. 'Rupanya benar apa yang kudengar tentang Khalifah', kata orang Yahudi dalam hati.
Setelah dijamu layaknya tamu dari jauh, Khalifah meminta kepada orang Yahudi untuk menyampaikan maksud kedatangannya. “Ya Amirul Mukminin, saya ini orang miskin” kata orang Yahudi memulai pembicaraan. Amirul Mukminin mendengarkannya dengan penuh perhatian. “Di Mesir, kami punya sebidang tanah” lanjut orang Yahudi.
“Ya, lalu, ada apa ?” tanya Amirul Mukminin.
“Tanah itu satu-satunya milik saya yang sudah lama saya tinggali bersama anak dan istri saya. Tapi Gubernur mau membangun Masjid yang besar di daerah itu. Gubernur akan menggusur tanah dan rumah saya itu” tutur orang Yahudi sedih, matanya berkaca-kaca. “Kami yang sudah miskin ini mau pindah kemana ? Jika semua milik kami digusur oleh Gubernur ? Tolonglah saya yang lemah ini, saya minta keadilan dari Tuan” Orang Yahudi memohon dengan memelas.
“Oh, begitu ya ? Tanah dan rumahmu mau digusur oleh Gubernurku ?” kata Amirul Mukminin mengangguk-angguk.
Khalifah Umar tampak merenung. Ia sedang berpikir keras memecahkan masalah yang dihadapi orang Yahudi itu.
“Kau tidak bermaksud menjual rumah dan tanahmu, hai Yahudi ?” tanya Khalifah.
“Tidak !” orang Yahudi tersebut menggelengkan kepalanya.
“Sebab cuma itulah harta kami. Saya tidak rela melepasnya kepada siapapun” Orang Yahudi tetap pada pendiriannya.
“Baiklah, aku akan membantumu” kata Amirul Mukminin. Hati orang Yahudi itu merasa lega karena Amirul Mukminin mau membantu kesusahannya.
“Hai Yahudi” kata Khalifah kemudian. “Tolong ambilkan tulang di bak sampah itu !” perintahnya.
“Maaf, Tuan menyuruh saya mengambil tulang itu ?” tanya orang Yahudi ragu. Ia tidak mengerti untuk apa tulang yang sudah dibuang harus diambil lagi. Namun, ia menuruti juga perintah Khalifah.
“Ini tulangnya Tuan“ orang Yahudi menyerahkan tulang unta tersebut kepada Khalifah.
Lalu, Khalifah Umar membuat garis lurus dan gambar pedang pada tulang itu.
“Serahkan tulang ini pada Gubernur Mesir !” kata Amirul Mukminin lagi.
Orang Yahudi menatap tulang yang ada. Garis lurus dan gambar pedangnya itu. Ia merasa tidak puas.
Kedatangannya menghadap Khalifah untuk mendapat keadilan, tetapi Khalifah hanya memberinya tulang untuk diserahkan kepada Gubernur.
“Ya Amirul Mukminin, jauh-jauh saya datang minta tuan membereskan masalah saya, tapi tuan malah memberi tulang ini kepada Gubernur ?” sahut orang yahudi.
“Serahkan saja tulang itu !” jawab Khalifah pendek. Orang yahudi tidak membantah lagi. Iapun bertolak ke mesir dengan dipenuhi beribu pertanyaan dikepalanya.
“Aneh, Khalifah Umar menyuruhku untuk memberikan tulang ini pada Gubernur ?” gumamnya sepanjang perjalanan ke negerinya.
Setibanya di mesir, orang yahudi bergegas menuju kediaman Gubernur. “Wahai Tuan Gubernur, saya orang yahudi yang tanahnya akan kau gusur itu“ kata orang Yahudi tersebut.
“Oh kau rupanya, ada apa lagi ?” kata sang Gubernur.
“Saya baru saja menghadap Amirul Mukminin” kata orang yahudi.
“Lantas ada apa ?”
“Saya disuruh memberikan tulang ini” orang Yahudi itupun segera menyerahkan tulang unta ke tangan Gubernur.
Diperiksanya tulang itu baik-baik. Wajah Gubernur berubah pucat. Tubuhnya gemetar. Keringat dingin mengucur di dahinya ketika melihat gambar pada tulang itu. Sebuah garis lurus dan gambar pedang yang dibuat Khalifah Umar sudah membuat hati Gubernur ketakutan bukan main.
“Hai pengawal !” tiba-tiba ia berteriak keras.
“Serahkan tanah orang yahudi ini sekarang juga ! Batalkan rencana menggusur rumah dan tanahnya ! Kita cari tempat lain untuk membangun masjid” kata Gubernur.
Orang Yahudi itupun menjadi heran dibuatnya. Ia sungguh tidak mengerti dengan perubahan keputusan Gubernur yang akan mengembalikan tanah miliknya. Hanya dengan melihat tulang yang bergambar pedang dan garis lurus dari Khalifah tadi, Gubernur tampak sangat ketakutan.
“Hai Yahudi ! Sekarang juga kukembalikan tanah dan semua milikmu. Tinggallah engkau dan keluargamu disana sesuka hati” sahut Gubernur terbata-bata.
Pesan dalam tulang itu dirasakan Gubernur seakan-akan Khalifah Umar berada dihadapannya dengan wajah yang amat marah. Ya ! Gubernur merasa seolah-olah dicambuk dan ditebas lehernya oleh Amirul Mukminin.
“Tuan Gubernur ada apa sebenarnya ? Apa yang terjadi ? Kenapa tuan tampak ketakutan melihat tulang yang ada garis lurus dan gambar pedang itu ? Padahal Amirul Mukminin tidak mengatakan apa-apa ?” tanya orang Yahudi masih tak mengerti.
“Hai Yahudi, Tahukah engkau ? Sesungguhnya Amirul Mukminin sudah memberi peringatan keras padaku lewat tulang ini” kata Gubernur.
Orang Yahudi tersebut bertambah heran saja. "Sesungguhnya tulang ini membawa sebuah pesan peringatan. Garis lurus, artinya Khalifah Umar memintaku agar aku sungguh-sungguh menegakkan keadilan terhadap siapapun. Dan gambar Pedang, artinya kalau aku tidak berlaku adil, maka Khalifah akan bertindak. Aku harus menjadi penguasa yang adil sebelum aku yang menjadi tulang belulang” jawab Gubernur menceritakan isi pesan yang terkandung dalam tulang unta itu.
Kini orang Yahudi pun mengerti semuanya. Betapa ia sangat kagum kepada Amirul Mukminin yang sungguh-sungguh memperhatikan nasib orang tertindas seperti dirinya meskipun ia bukan dari kaum muslimin.
“Tuan Gubernur, saya sangat kagum pada Amirul Mukminin dan keadilan yang diberikan Pemerintah Islam. Karenanya, saya ingin menjadi orang Muslim. Saat ini saya rela melepaskan tanah itu karena Allah semata”
Tanpa ragu sedikitpun orang Yahudi itu langsung bersyahadat dan merelakan tanahnya untuk didirikan di atasnya sebuah masjid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar