Setelah memeluk Islam, lelaki kelahiran
Cambridge, Massachusetts, AS, 26 Maret 1929 ini lebih banyak
berkecimpung dalam berbagai kegiatan yang mengkampanyekan tentang Islam.
Perjalanan Crane dalam menemukan Islam cukup panjang. Nenek moyang
Crane dari garis ibu berasal dari daratan Eropa yang bermigrasi ke
wilayah Amerika.
Keluarganya datang ke New Haven,
Connecticut, pada 1636. Beberapa di antara mereka menetap di
Elizabethtown (sekarang Elizabeth), New Jersey. Sementara nenek dari
pihak ayahnya berasal dari suku Indian
Cherokee. Meski berasal dari kalangan suku Indian, namun keluarga besar
Crane tetap menomorsatukan urusan pendidikan. Ayah Crane merupakan
seorang pengajar pada Fakultas Ekonomi Universitas Harvard.
Sementara keluarga besar ibunya dikenal
publik Amerika sebagai salah satu penyokong finansial Universitas
Northwestern. Karenanya tak mengherankan jika sedari kecil hingga dewasa
ia mendapatkan pendidikan yang memadai.
Selepas menamatkan pendidikan menengah
atas, Crane sempat berkuliah di Universitas Harvard, namun tidak sampai
tamat. Kemudian ia melanjutkan pendidikan setingkat sarjana muda di
Universitas Northwestern. Setelah lulus dari Northwestern, ia diminta
untuk membantu menjalankan usaha keluarga.
Kemudian kedua orang tuanya memintanya
untuk melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum Harvard. Sejak muda, Crane
gemar menulis berbagai artikel. Salah satu artikel yang pernah
ditulisnya adalah mengenai strategi ruang angkasa Soviet. Ketika pecah
Krisis Misil Kuba, ia menulis sebuah artikel panjang tentang strategi
perang psikis.
“Saya sudah menduga bahwa Soviet akan
memenangkan krisis misil itu. Setiap orang berpikir bahwa Amerika
Serikat akan menundukkan mereka, tetapi bagi saya jelas bahwa tujuan
Krushchev (pemimpin Soviet kala itu, red) bukanlah mengintimidasi atau
menggunakan misinya untuk melawan Amerika Serikat. Tujuannya adalah
mengkonsolidasi kekuatan Komunis di Kuba. Caranya adalah dengan memasang
misil-misil tersebut, kemudian menariknya kembali dengan jaminan
komitmen Amerika agar tidak mencampuri urusan Fidel Castro, itulah yang
sebenarnya terjadi,’’ papar Crane dalam buku American Jihad, Islam After Malcolm X, karya Steven Barbosa.
Tanpa ia duga, artikel tersebut dibaca
oleh mantan orang nomor satu di Amerika, Richard Nixon. Nixon membacanya
di atas pesawat dalam penerbangan dari California ke New York. “Dia
memanggil saya segera setelah mendarat, pada Januari 1963, dan bertanya
apakah saya bersedia menjadi penasihatnya untuk urusan politik luar
negeri,” ungkap Crane.
Sebagai penasihat presiden tentunya ia
harus menguasai berbagai aspek persoalan terkait dengan politik luar
negeri. Tugas utamanya saat itu adalah mengumpulkan artikel-artikel
terbaik pada setiap pokok persoalan dan menggabungkan semua artikel
tersebut menjadi buku ringkasan untuk dibaca oleh Nixon.
Berbagai macam artikel dibacanya, salah
satunya adalah mengenai agama. Ia tertarik untuk membaca tentang
bermacam-macam agama. Dan dia ingin mengetahui tentang Islam. “Saat itu
saya telah membaca sedikit tentang Islam, sebab saya pikir Islam akan
menjadi sekutu Amerika Serikat yang paling kuat dan tahan lama untuk
melawan Komunisme. Sebab kami berdua, saya dan Nixon, memandang
Komunisme sebagai ancaman dunia,” tutur Crane.
Saat Nixon hendak mencalonkan diri
sebagai Presiden AS, Crane termasuk salah satu orang terdekat Nixon yang
tidak memberikan dukungan. Terlebih lagi pemikirannya yang kerap
berseberangan dengan ketua tim sukses Henry Kissinger, membuatnya
disingkirkan selama masa kampanye 1968.
Setelah terpilih menjadi Presiden AS
ke-37, Nixon menunjuk Crane menjadi wakil direktur perencanaan untuk
Dewan Keamanan Nasional. Sementara posisi direktur dipegang oleh
Kissinger. Namun, hubungannya yang kurang harmonis dengan Kissinger
membuat Crane tersingkir dari Dewan Keamanan Nasional.
Crane mengakui pada awalnya tidak pernah
memikirkan Islam secara serius. Yang diketahuinya tentang Islam hanyalah
bahwa Muslim yang baik harus membunuh orang Kristen dan surga orang
Muslim seperti rumah pelacuran. “Saya sangat muak dan tidak pernah
berhasrat mempelajari agama ini. Agama ini sangat primitif. Dan saya
menasihati Nixon untuk menggunakan Islam sebagai sekutu untuk melawan
komunis. Saya pikir Islam adalah agama yang menjijikkan, tetapi paling
tidak, dapat digunakan untuk melawan komunisme,” kata dia memaparkan.
Tetapi, sebuah perjamuan makan di Bahrain
mengubah pandangannya tentang Islam. Saat itu musim panas tahun 1977,
Crane beserta istrinya sedang berada di Bahrain. Di tengah suhu yang
begitu panas, sang istri memintanya menemani melihat-lihat istana di
Al-Muharraq, yang merupakan kota dagang tertua di dunia. Kota ini hanya
terdiri dari lorong-lorong sempit, seperti sebuah jaringan jalan yang
semrawut.
Kondisi jalan yang semrawut ini membuat
Crane dan istrinya tersesat di tengah keramaian. Dalam kondisi bingung,
tiba-tiba ada orang tua lewat di depannya dan mengajak Crane ke rumahnya
yang berada tidak jauh dari lokasinya saat itu. Crane beserta istri
kemudian menghabiskan sisa hari mereka di sana. Sang tuan rumah menjamu
mereka dengan berbagai macam makanan.
“Kami berbicara tentang berbagai hal, dan
dia mengatakan bahwa dia seorang Muslim. Saya sungguh terpesona karena
dia benar-benar orang baik. Kami tidak pernah membicarakan tentang
Islam. Kami berbincang tentang apa-apa yang baik di dunia, tentang
hal-hal yang buruk di dunia, dan tentang apa yang penting di dunia. Juga
tentang peran Tuhan di dunia, tetapi tidak mengenai agama Islam,’’ ujar
dia mengenang.
Momen tersebut benar-benar membekas dalam
dirinya. Setelah perjamuan tersebut, Crane mulai berpikir apakah
sebaiknya ia mulai mempelajari agama Islam. Ia pun mempelajari Islam,
dan menyadari bahwa segala sesuatu dalam Islam adalah benar-benar apa
yang selama ini selalu diyakininya.
Pada tahun 1980, ia berkesempatan
mengikuti sebuah konferensi tentang gerakan Islam di New Hampshire.
Seluruh pemikir besar dari gerakan Islam dunia hadir di sana. Ketika
waktu makan siang tiba, Crane lebih memilih bergabung bersama para tamu
asing. Yang ada dalam pikirannya saat itu hanyalah keinginan untuk
belajar sebanyak mungkin dari mereka.
Tanpa banyak bertanya, Crane kemudian
mengikuti langkah para delegasi asing ini ke sebuah ruangan yang
lantainya ditutupi permadani. Semula ia mengira mereka akan makan siang.
Namun, dia baru menyadari kalau hari itu adalah hari Jumat.
“Mereka akan melakukan shalat Jumat. Saya
memutuskan sebaiknya saya meninggalkan mereka. Tetapi saya pikir itu
akan menyinggung perasaan mereka. Lalu saya hanya duduk di bagian
belakang ruangan,” ujar. Yang bertindak selaku imam shalat saat itu
adalah Hasan Al-Turabi, seorang tokoh terkemuka gerakan Islam
internasional asal Sudan. Menyaksikan Al-Turabi bersujud, Crane pun
terhenyak sesaat.
“Saya menyadari bahwa dia membungkuk
kepada Allah. Jika dia dapat bersujud kepada Allah maka itu artinya dia
sepuluh kali lebih baik dari saya. Saya memutuskan bahwa saya juga harus
bersujud,” batinnya. Dia merasa mendapatkan teladan dari situ. Saat itu
juga, Crane bersujud dan memutus kan untuk menjadi seorang Muslim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar